Sabtu, 27 Maret 2010
PERAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA
Selasa, 09 Februari 2010
POLITIK ISLAM DI INDONESIA (Antara Formalisme dan Inklusivisme)
Selasa, 12 Januari 2010
INFÂQ MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: Sulaiman Ibrahim
I. Pendahuluan
Islam sejak dini telah memberikan perhatian besar terhadap infaq ini. Itu berarti secara tidak langsung al-Qur’an mengisyaratkan kepada kita bahwa infaq mempunyai peranan besar dalam pembinaan umat. Hal ini disebabkan dana yang berasal dari umat dihimpun, lalu dikelola secara baik sesuai dengan manejemen yang berdasarkan ketentuan al-Qur’an, kemudian dikembalikan kepada umat untuk memenuhi kebutuhan mereka, baik dalam bentuk barang, maupun jasa.
Infaq merupakan hal yang sangat penting dalam pembinaan umat, adalah suatu kenyataan yang empiris yang tak dapat dibantah sejak dulu sampai sekarang. Tapi yang perlu dilihat adalah berkenaan dengan kurang tumbuhnya sikap suka berinfaq di kalangan umat sendiri. Padahal masalah ini sangat penting demi mengatur dana umat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Lewat kitab suci al-Qur’an Allah swt. memerintahkan hamba-hambanya supaya senantiasa peduli terhadap sesamanya. Bentuk kepedulian ini dapat diwujudkan dengan melakukan infak dengan membelanjakan sebagian harta yang dilimpahkan-Nya kepada para fakir, miskin, orang-orang yang sangat memerlukannya dan untuk kebaikan dan kemanfaatan orang banyak.
Berdasarkan uraian terdahulu, pembicaraan akan dititik beratkan pada penelitian ayat-ayat Alquran tentang infak. Oleh karena itu, pokok masalah yang akan dijadikan landasan pembahasan dalam tulisan ini adalah bagaimana konsep infak dalam al-Qur’an.
(Ingin tulisan ini lengkap, hubungi Ar-Risalah)
Senin, 11 Januari 2010
HERMENEUTIKA TEKS; Sebuah Tawaran Metode Tafsir al-Qur’an
HERMENEUTIKA TEKS;
Sebuah Tawaran Metode Tafsir al-Qur’an
Oleh: Sulaiman Ibrahim
Abstrak
Hermeneutika al-Qur’an adalah suatu penafsiran rasional “bebas terkendali” dalam rangka memahami al-Qur’an dengan kontekstual. Walaupun Hermeneutika sebuah metode dari Barat, tetapi bukan berarti tidak bisa dipakai untuk manafsirkan sebuah teks al-Qur’an. justru hal ini membuahkan sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional
Kebutuhan Sebuah Penafsiran
Sepanjang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, tidak ada teks yang sakral. Sebab ilmu pengetahuan berkembang dengan cara mengkritik yang lama dan melahirkan yang baru. Sakralisasi teks mungkin diperlukan oleh orang awam supaya tidak bingung, sebagaimana mereka perlu pemimpin, apabila tidak ada pemimpin mungkin pemandu, yaitu teks-teks. Tapi ketika sudah dewasa, orang harus tahu bahwa sakralisasi bisa mempersempit Islam itu sendiri.[1]
Modernisme Islam atau pembaharuan dalam Islam selama ini dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan paham-pahaDm keagamaan Islam dengan dinamika dan perkembangan baru yang timbul atau ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Atau, yang dimaksud dengan modernisme Islam adalah upaya memperbarui penafsiran, penjabaran dan cara-cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar dan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis sesuai dan sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi masalah yang dihadapi.[2]
Dalam sejarah perkembangan modernisme Islam terdapat suatu gagasan utama yang selalu dicetuskan oleh oleh para tokoh pembaru, modernis, yaitu kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Muhammad Abduh, misalnya, dengan serius mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan berpegang teguh dengannya, dan perlunya penafsiran/interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, sesuai dan sejalan dengan tuntunan dan perkembangan zaman.[3]3 Sehubungan dengan gagasan utama modernisme Islam, semua pihak, terutama tokoh-tokoh modernis, sepakat dan antusias untuk mengoperasionalisasikan dan melaksanakannya. Mengingat perlunya penafsiran atau interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, khususnya al-Qur’an, maka mau atau tidak mau terlibatlah apa yang disebut tafsir.
Al-Qur’an, sebagaimana diyakini umat Islam, adalah kalam Tuhan yang menyimpan segala petunjuk dan ajaran-Nya, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia yang umumnya diungkap dalam bentuk dasar-dasarnya. Dan tafsir dipandang dari segi eksistensinya yang sangat melekat dengan al-Qur’an sungguh amat penting dan utama. Kepentingan dan keutamaan tafsir amat terasa apabila dihubungkan dengan keharusan umat Islam untuk memahami kandungan atau makna ajaran-ajaran al-Qur’an. Memahami segala kandungan al-Qur’an merupakan perintah Allah Swt. (QS. 38: 29) dan (QS. 4: 82).
Demikian penting upaya memahami dan merenungkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, demi mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga darinya. Untuk sampai pada tingkat pengamalan dan pelaksanaan segala petunjuk, ajaran dan aturan serta norma al-Qur’an tidaklah mudah, kecuali setelah memahami dengan sebaik-baiknya segala nasehat dan petunjuk al-Qur’an, serta menghayati prinsip-prinsip ajarannya, karena semua itu termuat dalam kemasan bahasa Arab yang beruslub tinggi. Hal ini menurut al-Zarqani, jelas diperlukan tafsir. Tanpa tafsir, tidak akan diperoleh apa-apa yang terkandung dalam khazanah al-Qur’an.[4]
Dalam rangka penafsiran baru al-Qur’an sesuai dengan konteks kekinian dan kemoderenan zaman, tafsir yang lebih diperlukan ialah tafsir yang bercorak rasional, yaitu tafsir yang disebut dengan istilah tafsir al-Qur’an bi al-ra’y (dengan menggunakan akal) atau tafsîr al-Ijtihâd.[5] Di samping itu diperlukannya perpaduan antara pemikiran-pemikiran yang memberi interpretasi pada wahyu (tafsir bi al-Ma’tsur)[6], dengan interpretasi rasional “liberal” dalam hal ini “hermeneutik”.[7]
Hermeneutik dalam Penafsiran Teks (al-Qur’an)
Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dalam kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia, model ini dikenal dengan Ilmu Tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutik tidak mutlak hanya milik kaum penafsir kitab suci saja, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin ilmu yang luas. Bentuk hermeneutik dalam suatu kajian mulai berkembang pada abad ke-17 dan ke-18.[8]
Kajian hermeneutik sebagai suatu bidang keilmuan mulai marak pada abad ke-20. Diskursus kajian hermeneutik semakin berkembang, ia tidak hanya mencakup pada bidang kajian kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan telah berkembang jauh pada ilmu-ilmu lain. Adapun ilmu-ilmu yang berkaitan erat dengan hermeneutik adalah sejarah, hukum. Filsafat, kesusasteraan dan lain sebagainya, yang tercakup dalam ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan.[9]
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari kata Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneueia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi.[10] Istilah hermeneutik merujuk pada mitos Hermes (Dewa Yunani) yang bertugas menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia.menurut Hossein Nasr sebagaimana yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, Hermes tak lain adalah Nabi Idris a.s. yang disebut dalam al-Qur’an.[11] Sementara menurut cerita yang beredar di kalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukan tenun. Jika propesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang Dewa Hermes, di
Problematika mendasar dalam mengkaji hermeneutik adalah problem penafsiran teks, baik teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang akan dicoba diselesaikan adalah berbagai persoalan seputar teks dalam kaitannya dengan tradisi, di satu sisi, dan dengan pengarang di sisi lain. Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana agar problem tersebut tidak mengacaukan relasi antara penafsir dengan teks. Relasi antara penafsir dan teks ini adalah masalah serius dan merupakan pijakan awal bagi para filosof hermeneutik.[14]
Harus dipahami, meskipun al-Qur’an dari sisi proses komunikasinya bersifat spesifik bagi bangsa Arab, namun tidak berarti al-Qur’an tertutup untuk bangsa lain, karena pergeseran dari penerima spesifik ke penerima yang lebih umum tidak berlangsung melalui pesan yang terkandung di dalamnya. Di sini peran teks tertulis untuk memungkinkan pesan tersebut dapat ditransper ke waktu dan ruang yang berbeda sangat penting.
Teks sebagai hasil komunikasi sebenarnya muncul dalam sekali waktu ketika proses komunikasi terjadi. Namun demikian ketika teks mula-mula muncul dalam bentuk oral diproduksi kembali ke dalam teks tertulis, keberadaan teks menjadi lebih mapan dan tahan lama. Apabila teks oral mudah mengalami perubahan karena lebih mengandalkan hapalan, dan proses penyebarannya lebih mengandalkan pada peralihan suara, maka teks tertulis memberikan jaminan keberlangsungan yang lebih mapan dari segi materinya, meskipun bentuk materinya sangat dimungkinkan mengalami perubahan juga apabila mengingat bahwa ketika al-Qur’an diturunkan tehnik penulisan yang berkembang dalam masyarakat Arab baru dimulai, dan belum mencapai tingkat kesempurnaan kecuali setelah memasuki dua abad kemudian.[15]
Persoalannya kemudian apakah setelah ditranspormasikan menjadi teks tertulis, teks tersebut memiliki kekuatan makna yang sama ketika ketika teks tersebut muncul dalam proses awalnya? Apakah teks tersebut ditulis dalam rangka mengawal perkembangan kehidupan agar senantiasa berada dalam teks tersebut, yang berarti kehidupan kapanpun harus tetap sama dengan kehidupan ketika teks tersebut muncul?.
Pada dasarnya hermeneutika berkaitan erat dengan bahasa, yang diungkapkan baik melalui pikiran, wacana, maupun tulisan. Dengan demikian, hermeneutika merupakan cara baru untuk "bergaul" dengan bahasa. Henri Bergson, sebagaimana yang dikutip oleh Sumaryono, menyatakan bahwa bila seseorang mampu memahami suatu bahasa, maka ia mampu memahami segala sesuatu. Kita biasanya berkomunikasi melalui bahasa, meskipun tidak jarang bahasa dapat menimbulkan salah paham dan salah tafsir.[16] Arti atau makna dapat kita temukan tergantung dari banyak faktor, di antaranya siapa yang berbicara, kondisi tertentu menyangkut waktu, tempat atau situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.
Dengan perkembangannya tradisi tulisan yang memperoleh dukungan kuat dari teknologi percetakan modern, bahasa tulis cenderung menggeser tradisi lisan dalam komunikasi keilmuan. Perkembangan ini telah melahirkan apa yang disebut paham strukturalisme di mana subyek menjadi hilang dan teks cenderung otonom. Jika wacana keagamaan pada mulanya sangat mengandalkan kekuatan bahasa lisan dalam sebuah dinamika sosial yang terbuka dan dinamis, kini bahasa tulis sangat semakin menguat kedudukannya.[17]
Ketika teks al-Qur’an dipahami secara terpisah dari konteks sosial- historisnya, banyak aspek dari wacana sosial-psikologisnya yang hilang. Disadari atau tidak, ketika sebuah wacana yang begitu kompleks dituliskan, penyempitan dan pengeringan makna dan nuansa tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, di sinilah relevansi dan urgensi hermeneutika sebagai metodologi penafsiran yang dihadirkan dalam mendekati al-Qur’an.
Perlu ditekankan, meragukan sebuah penafsiran tidak berarti menolak keyakinan akan pewahyuan al-Qur’an. Di sini muncul apa yang disebut sebagai problem hermeneutik kitab suci. Merasa tahu kandungan firman Tuhan sepenuhnya, berarti sombong dan bohong, karena level ini tidak mungkin dicapai oleh siapa pun. Sebaliknya, meragukan kitab suci jangan-jangan dianggap sebagai sebuah keangkuhan dan pengingkaran.[18]
Memang, dalam kajian hermeneutik tidak dibedakan antara teks agama dan sekuler. Al-Qur’an dianggap setara dengan teks-teks lainnya. Kunci utama terletak pada tafsirannya, ia bisa menjadi aturan hukum, karya sastra, teks filosofis, atau data sejarah. Semua teks mengacu pada satu aturan tafsiran yang sama, dan tidak ada tafsiran yang dianggap benar atau salah, yang ada hanyalah upaya yang bervariasi untuk mendekati teks dari kepentingan dan motivasi yang berbeda.
Pemahaman dalam Penafsiran Teks (Al-Qur’an)
Tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman, karena manusia memerlukan petunjuk Ilahi. Tanpa tafsir, seorang muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Tuhan yang terkandung dalam al-Qur’an.
Setidaknya ada tiga segi yang membuat dan menentukan tingginya kedudukan tafsir. Pertama, bahwa bidang yang menjadi objek kajian tafsir adalah Kalam Ilahi yang mulia yang merupakan sumber segala ilmu agama dan keutamaan. Didalamnya terhimpun berbagai aturan untuk kebaikan hidup manusia. Kedua, tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh dengan al-Qur’an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati, dunia dan akhirat. Ketiga, dilihat dari kebutuhan pun sangat jelas bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam persoalan, baik agama maupun keduniaan, memerlukan ilmu syari’at dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama.[19] Hal itu sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al-Qur’an, yaitu tafsir.
Banyak statemen al-Qur’an yang sulit dipahami kecuali telah dikonsultasikan pada teks yang lain melalui para ahlinya. Persoalan ini sudah mulai dirasakan di zaman Sahabat Nabi sendiri.dalam kitab-kitab klasik, dikemukakan contoh bagaimana Sahabat Nabi memerlukan datang ke orang Badui (pedalaman Arab) untuk melakukan riset bahasa, ketika dikemukakan kata-kata asing dalam al-Qur’an, yang lebih dikenal dalam masyarakat pedalaman.[20]
Redaksi ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah Swt. yang mereka dengar dan mereka baca itu.[21] Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).
Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat al-Qur’an tidak banyak kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga karena Nabi sendiri tidak menafsirkan semua ayat al-Qur’an, sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi pensyaratan-pensyaratan tertentu.[22]
Semua hasil penafsiran ulama terhadap al-Qur’an selalu memiliki kecenderungan tertutup, mapan,
Dari sudut pandang filsafat hermeneutika, sebuah pemahaman, apa pun objeknya, selalu mengasumsikan adanya kreatif dan imajinatif subjek penafsir agar tidak mudah diperdaya oleh teks yang sedang ia hadapi. Daya imajinasi dan kreasi itu bekerja dengan mengikuti kaidah dan tahapan penalaran logis. Tanpa mengabaikan konteks tradisi masa lalu. Memahami sebuah objek sosial yang menyangkut makna hidup tidak akan bisa tanpa adanya partisipasi dan dialog dengan tradisi.[24]
Pemikir Jerman, Scheleimacher[25] (1768-1834) adalah seorang yang mempersentasikan hermeneutik klasik. Dia dikenal sebagai tokoh yang berjasa dalam merubah hermeneutik dari bentuk penyajiannya yang teologis menjadi ilmu atau seni bagi proses pemahaman dengan berbagai kriteria dalam memahami teks. Dalam hal ini, Scheleimacher berusaha menghindari interpretasi final agar hermeneutik tidak menjadi kordinat ilmu tertentu, sehingga hermeneutik dapat menjadi ilmu mandiri yang mendasari proses pemaknaan sekaligus proses penafsiran.
Hermeneutik Scheleimacher berdasarkan pada asumsi bahwa teks merupakan sarana kebahasaan yang dapat mentransfer isi pikiran seorang pengarang kepada pembaca. Dari sisi kebahasaan Scheleimacher merujuk kepada bahasa secara utuh. Sedangkan dari sisi psikologis, Scheleimacher merujuk kepada subjektif seorang pengarang. Menurut dia, relasi antara dua pendekatan teks ini adalah relasi yang bersifat dialektis.[26]
Bagi Gadamer, seperti halnya juga bagi Schleiermacher, pertanyaan yang berhubungan dengan pentingnya waktu dalam pemahaman dan interpretasi dapat menimbulkan lingkaran hermeneutik. Kita tidak dapat lebih dahulu memahamibaru kemudian membuat interpretasi. Akal pikiran kita bukan sekedar merupakan cermin yang secara mekanis memantulkan segala cahaya yang diterimanya. Proses pemahaman yang sebenarnya merupakan interpretasi itu sendiri. Akal pikiran kita membuat perbedaan, mengutamakan, menunda, bekerja, mendayagunakan apa saja yang dikumpulkan dari panca indra kita dan dari proses intelektualnya sendiri. Bila akal kita memahami, maka di dalamnya tercakup pula interpretasi. Sebaliknya, jika akal pikiran kita melakukan interpretasi, maka terangkum juga pemahamannya.[28]
Hermeneutik yang dikenal dalam tradisi Islam adalah ilmu tafsir dan takwil. Tafsir artinya mengurai untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks, sedang takwil adalah menulusuri kepada orisinalitas atau ide awal dari gagasan yang terbungkus dalam teks.[29] Di sini tafsir dan takwil saling terkait, meskipun karakteristik takwil lebih liberal dan imajinatif.
Tafsir; Bebas Terkendali
Al-Qur’an sebagai firman Allah Swt. pada dasarnya adalah suatu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi umat manusia; dan ia bukan sebagai dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa dan haji. Dari awal hingga akhir, al-Qur’an selalu memberikan penekanan pada semua aspek-aspek moral bagi umat manusia.oleh karena itu, kepentingan sentral al-Qur’an adalah manusia dan perbaikannya.
Perlu diketahui bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik dan sebagainya. Maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Karena hal ini merupakan perintah al-Qur’an sendiri. Sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini adalah konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.[30]
Untuk melakukan interpretasi objektif dan pemahaman yang kuat. Menurut Emilio Betti sebagaimana yang dikutip oleh Abd A’la menekankan empat aspek penting yang bersifat teoritis yang harus ada dalam penafsiran. (1) Aspek filologi, yaitu rekontruksi terhadap koherensi terhadap suatu ungkapan dari sisi gramatikal dan logika. Aspek ini bernilai efektif dalam usaha memahami secara permanem simbol-simbol yang sudah pasti; (2) Aspek kritik, kegiatan ini dihadapkan pada hal-hal yang membutuhkan sikap untuk dipertanyakan, misalnya mengenai statemen yang tidak logis atau adanya gap dalam sekumpulan argumen yang muncul; (3) Aspek psikologis. Aspek ini diberlakukan ketika penafsir meletakkan dirinya dalam diri pengarang, yaitu ketika memahami dan menciptakan kembali personalitas dan posisi intelektual si pengarang; dan terakhir, (4) Aspek morfologi-teknis. Pendekatan ini ditujukan kepada pemahaman isi-arti dari kata yang bersifat mental-objektif dalam hubungannya dengan logika khusus dan prinsip-prinsip yang digunakannya. Pada sisi ini, objek dipandang apa adanya tanpa dikaitkan dengan sifat, atau faktor-faktor eksternal.[31] Jadi menurutnya suatu interpretasi hendaknya bersifat gerakan penafsiran yang melibatkan aspek kebahasaan, latar belakang historis dan pengenalan terhadap si pengarang secara bersama-sama. Melalui pendekatan ini, hasil interpretasi yang relatif objektif sangat dimungkinkan untuk dicapai.
Ibn ‘Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah Swt. menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan orang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Swt.[32]
Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu menyangkut syarat-syarat penafsir dan menyangkut materi ayat-ayat. Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat al-Qur’an yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah Swt. Dari segi syarat penafsir, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan bahwa seorang penafsir harus (a) mengetahui bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b) mengetahui tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi dan ushûl fiqh; (c) mengetahui tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; (d) mengetahui tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.[33]
Apa yang dikemukakan di atas, dianggap sebagai adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran al-Qur’an. Hal ini dianggap perlu untuk menjaga suatu penafsiran agar tidak menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan menjadi malapetaka dalam kehidupan.
Di antara kita ada yang beranggapan bahwa kitab-kitab tafsir al-Qur’an merupakan kitab-kitab suci. Tetapi mereka lupa bahwa sebenarnya para mufassir ini juga manusia biasa yang tidak kebal terhadap dosa, dan tafsir ini berada dalam bidang kajian yang luas, yang karena kebodohan atau adanya kepentingan pribadi penafsirnya, dapat menimbulkan pendapat-pendapat yang justeru merusak citra al-Qur’an itu sendiri.[34] Jika kita menyimak tradisi yang berkembang di dunia Islam dalam menafsirkan al-Qur’an, terdapat beberapa metode yang kecenderungannya berbeda-beda, namun semuanya yakin bahwa al-Qur’an adalah firman Allah Swt. Pertama, ada yang menitikberatkan pada pendekatan gramatikal-tekstual. Pendekatan ini didukung oleh argumentasi bahwa al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci telah sempurna pada dirinya sendiri. Al-Qur’an, bahkan diyakini telah memiliki kemukjizatan bahasa, sehingga dengan penguasaan ilmu bahasa Arab, seseorang bisa menangkap kandungan dasarnya. Pendekatan ini cukup menonjol di kalangan ahli fiqhi dan kalam (teologi Islam). Kedua, karena Allah Swt. sebagai pengarangnya di luar jangkauan dunia impiris manusia, maka problem pengarang al-Qur’an bergeser pada pembawanya, yaitu Nabi Muhammad yang hidup dalam sebuah konteks historis. Pendekatan ini melahirkan metode penafsiran berdasarkan tradisi kenabian (tafsir bi al-ma’tsur). Yang terakhir ini pandangan bahwa Muhammad memiliki otoritas dalam menjelaskan al-Qur’an, sehingga Muhammad secara historis menggantikan kedudukan Allah sebagai pengarangnya. Terdapat lagi pendekatan lain, yaitu mistikal-filosofis yang hendak menggali subtansi makna yang terwadahi dalam proposisi bahasa. Oleh pendukung mazhab ini proposisi bahasa dilihat sebagai pintu masuk untuk meraih pesan yang berada di luar pengertian lahir yang bersifat proposional.[35]
Demikianlah al-Qur’an menemui para pembacanya dalam ziarah panjang dan respons berbagai ragam metode, sikap, serta kapasitas intelektual. Dengan demikian kesan dan pemahaman orang terhadap al-Qur’an juga menjadi sangat beragam.
Epilog
Persoalan penafsiran atau hermeneutik al-Qur’an adalah sui generis; ia berkaitan dengan teks dan konteks sosio-historis seorang penafsir pada satu sisi, dan pada sisi lain menjadi semakin kompleks ketika hermeneutik, sebagai sebuah metode, digunakan untuk melakukan pembaharuan terhadap realitas pemikiran umat Islam saat ini. Dua kenyataan ini semakin faktual ketika hermeneutik dengan semangat “Quranic turn” atau kembali kepada al-Qur’an, pada kenyataannya, secara historis melanjutkan semangat pembaharuan yang dilakukan para pembaharu Islam abad kesembilan belas dan kedua puluh. Namun kekuatan pembaharun sebuah pemikiran keagamaan –seperti lazimnya yang terjadi di semua agama- pada kenyataannya akan selalu tampil dan terkondisikan oleh sosio-historis-politis yang melahirkan dua poros pemikiran. Kalangan yang menerima, umumnya bersikap apresiatif dan kritis dalam menyikapi tawaran sebagai poros dialektika intelektual yang kreatif. Sedangkan kalangan yang menolak –kolompok yang sering dianggap sebagai ortodok- biasanya bersikap reaksioner dan apatis yang terkadang menggunakan cara-cara yang cenderung teologis dogmatik sehingga melahirkan tuduhan “pengkafiran” dan “pemurtadan” terhadap pemikiran tersebut.
Upaya dinamisasi tafsir tentu masih mempunyai harapan. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan analisa kritis dengan pisau bedah yang mempunyai daya sayat melacak esensi tafsir dan takwil, sejarah perkembangannya serta pemetaan metode dan berbagai corak tafsir. Analisa kritis ini lah yang akan menghantarkan para penggiat tafsir pada kondisi dan posisi obyektif tafsir. Strategi ini kemudian diikuti dengan melakukan kajian elaboratif dan komprehensif terhadap hermeneutika, pemantauan setiap perkembangan terbaru dan pemanfaatan terhadapnya.
Dalam hal ini, sikap kritis yang diajarkan dalam hermeneutika terhadap semua teks jelas menjadi sisi menariknya. Ungkapan klasik Nietszhe yang sering dijadikan pegangan adalah ''Jangan lihat apa yang dikatakan, tetapi lihat siapa yang mengatakan dan mengapa itu dikatakan serta apa kepentingan di balik semua itu.'' Dalam hermeneutika, seorang hermeneut dituntut untuk tidak sekadar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks.
[1]Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah, (
[2]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (
[3]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (
[4]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Musthafa al- Babi al-Halabi, tth.) jilid II, h. 6
[5]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, h. 11
[6] Menurut al-Dzahabi al-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan: (a) ayat-ayat al-Qur’an, (b) riwayat yang berasal dari Rasulullah Saw. (c) riwayat dari sahabat, dan (d) riwayat dari para tabi’in. Lihat Al-Dzahabi, I, h. 152.
[7]Hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kita sekarang. Ini melibatkan aturan metodologis yang diterapkan dalam penafsiran maupun asumsi-asumsi epistimologis tentang pemahaman. Hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan membawa persoalan dan harapan sendiri, dan adalah masuk akal untuk menuntut penafsir menyisihkan subjektivitas dirinya dan menafsirkan suatu teks tanpa pemahaman dan pertanyaan awal yang dimunculkannya. Lihat Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. Terjemahan dari: Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Penerjemah: Watung A. Budiman. (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), h. 83.
[8]E.Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Masalah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 26. Lihat juga M.Alfatih S. “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis” (IAIN Yogyakarta, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. I, no. 2, 2001) h.36.
[9]M.Alfatih S. “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis”, h. 39.
[10] E.Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, h. 23. ditambahkan bahwa untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya.
[11]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (
[12]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (
[13]Lihat Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 138. Menurut Van A. Harvay, kaitan antara kata “hermeneutika” dengan “Hermes” merefleksikan sebuah struktur triadik dari profesi penafsiran, yaitu: sebuah tanda, pesan atau teks dari beberapa sumber yang memerlukan seorang mediator atau penafsir (Hermes) untuk menyampaikannya kepada audiens.
[14]Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan,; Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutik al-Qur’an, (
[15]Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik sebagai Metode Filsafat, h. 13.
[16]Karena hermeneutika berhubungan erat dengan bahasa, maka ranah penerapannya pun menjadi cukup luas, terutuama ilmu humanistik, sejarah, hukum agama (termasuk kajian tafsir al-Qur’an), filsafat, seni, kesusastraan dan linguistik sumaryono menilai bahwa disiplin ilmu pertama kali yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir. Sebab semua karya mendapatkan inspirasi ilahi, misalnya al-Qur’an, memerlukan interpretasi atau hermeneutika sehingga dapat dimengerti. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik sebagai Metode Filsafat, h. 26-30
[17]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 27
[18]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 151-152
[19]M.Quraish Shihab “Kata Pengantar I” dalam buku Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, h. xiii
[20]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 148
[21]M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Manusia, (Bandung: Mizan, 1996) cet. XII, h. 75
[22]M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Manusia, (Bandung: Mizan, 1996) cet. XII, h. 76
[23]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 157
[24]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 164
[25]Nama lengkapnya adalah Friedrich Ernst Daniel Scheleimacher, dilahirkan di
[26]Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, h. 35. lihat juga Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan. h. 42
[27]Nama lengkapnya Hans-Georg Gadamer lahir di
[28]E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, h.82
[29]Tafsir dan takwil adalah dua kata yang lazim digunakan untuk menggambarkan proses atau cara memahami ayat-ayat al-Qur’an.
[30]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 77
[31]Abd A’la, Dari Modernisme ke Islam Liberal, (
[32]M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h.77. Al-Zarqani mengatakan, seorang mufasir selain harus menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an dan cabang-cabangnya, ia juga harus memiliki ilmu-ilmu alat yang lain seperti ilmu bahasa dengan segala cabangnya, ilmu tauhid, ilmu ushul fiqhi, dan bahkan ilmu al-mawhibah (limpahan). al-Zarqani, al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, II, h. 51. Tanpa pemahaman secara mendalam tentang bahasa al-Qur’an, maka akan besar kemungkinan bagi seorang mufasir akan melakukan penyimpangan (distorsi) dan kesalahan interpretasi (misinterpretation). Oleh sebab itu, ilmu bahasa dapat membantu seseorang dalam memahami bahasa Arab, juga memperluas wawasan tentang morfologi dan etimologi adalah yang paling penting seorang mufasir. Bagaimana seseorang dapat memahami makna ayat, kosa kata dan idiom, jika seorang mufasir tidak menerima kata secara literal (harfiyah), maka ia akan terjerumus kepada kesalahan dan dapat membawa kepada penafsiran yang kontroversial.
[33]M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 79
[34]Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Ittijâhat al-Munharifah fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Dawâfi’uhâ wa Daf ‘uhâ, (Kairo: Dar al-‘Itisham, 1978), h. 5
[35]Komaruddin Hidayat, MenafsirkanKehendak Tuhan, h. 163