Sabtu, 27 Maret 2010

PERAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA

Oleh: Sulaiman Ibrahim
Perempuan adalah kelompok manusia yang selalu tertindas. Pernyataan ini adalah gambaran tentang pengalaman kelam sekaligus potret buram kondisi perempuan di sepanjang sejarah. Tidak pernah dalam satu masyarakat, kapan dan di manapun, perempuan dihargai layaknya laki-laki, terutama yang berkaitan dengan seksualitas dan produktifitas ekonomi. Ironisnya, ketertindasan ini dialami oleh perempuan di dalam rumah tangganya dan oleh orang-orang dekatnya sendiri (ayah atau suaminya).
Pandangan yang mengakar di dalam masyarakat bahwa suami/ayah adalah kepala rumah tangga. Hal ini, disadari atau tidak, menggambarkan hubungan yang hierarkis, di mana perempuan selalu berada di bawah bayang-bayang laki-laki, atau selalu tunduk dan patuh terhadap kebijakan laki-laki. Ketika masih berstatus gadis, perempuan harus tunduk sepenuhnya kepada kebijakan dan keputusan sang ayah, dan setelah berumah tangga hal yang sama harus ditunjukkan kepada sang suami. Ini artinya pandangan tersebut menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kelas dua (the second sex). Bukan hanya masalah hirarki, tetapi dari pandangan tersebut lahir banyak masalah turunan, seperti dikotomi peran publik-domestik, tindakan pemaksaan dan sewenang-wenang terhadap isteri dan anak gadis, beban ganda (double burden), dan lain-lain.
Masalah-masalah di atas secara akumulatif semakin memperburuk nasib perempuan. Dikotomi peran mengakibatkan perempuan terdomestikasi. Mereka (isteri) harus terkungkung oleh keempat dinding rumahnya sendiri, dan pada saat yang sama laki-laki (suami) bebas berkiprah seluas akses yang dapat dijangkaunya. Celakanya, diamnya mereka di rumah dengan aneka urusan kerumahtanggaan dipandang sebagai kewajiban, sehingga tidak pernah dinilai sebagai kerja produktif secara ekonomis yang membutuhkan perhitungan jam kerja dengan imbalan yang sesuai. Kemudian, dengan dalih sebagai pemimpin, tidak kurang suami berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya, bahkan sampai pada tindakan yang dapat dimasukkan dalam kotak “tindak pidana kekerasan”.
Dewasa ini sudah banyak perempuan yang bekerja di wilayah publik, wilayah yang pada mulanya hanya dapat diakses oleh laki-laki. Hal ini terjadi, selain karena kemajuan industri yang tidak meletakkan kriteria jenis kelamin secara ketat, juga karena dorongan dan motivasi untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Namun kemudian, masalah lain pun muncul, seorang isteri harus menanggung beban ganda (double burden). Di samping ia tertuntut untuk ikut serta meringankan beban ekonomi keluarga, ia juga tetap dipandang wajib memberikan ASI untuk bayinya dan mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggan lainnya.
Dikotomi peran publik-domestik tidak langgeng dengan sendirinya. Ia diperkuat oleh argumen-argumen pembenaran, seperti distingsi struktur biologis antara laki-laki dan perempuan, interpretasi dalil-dalil agama, dan rekonstruksi berbagai disiplin ilmu yang terkait. Akan tetapi, seperti yang dikemukakan oleh banyak pakar dan pemerhati hak-hak perempuan, di antara beberapa faktor yang ada, interpretasi dalil agama atau doktrin teologislah sebagai penyebab utama (primacausa) semua ini. Faktor ini memberikan pengaruh yang luar biasa, sampai-sampai relasi jender yang hierarkis dalam rumah tangga telah mengendap di alam bawah sadar baik laki-laki maupun perempuan.

Selasa, 09 Februari 2010

POLITIK ISLAM DI INDONESIA (Antara Formalisme dan Inklusivisme)

Oleh: Abbas Tekeng
I. Pendahuluan
Membincang Persoalan politik Islam tidak terlepas dari proses sejarah panjang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia1 yang telah sejak lama melalui pedagang-pedagang dari Gujarat India dan Timur Tengah.
Politik merupakan salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Ilmu politik telah lama secara tidak langsung mengatur penerapan kekuasaan, hubungan antara yang diperintah dengan yang memerintah, serta sistem apa yang pemenuhan kebutuhan akan pengaturan dan pengawasan, sebagai konsekuensi adanya adanya kebebasan pemikiran manusia.
Untuk mencari makna kompromi terhadap Diskurs dalam politik Islam, maka harus ada kebesaran jiwa untuk merekonstruksi makna-makna politik Islam secara luhur dengan menanggalkan atribut-atribut subjektif masing-masing kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi makna-makna tersebut dapat berlaku dan diterima secara independen oleh siapapun. Sehingga benar-benar konsisten dan konsekuen dalam pengembangan makna politik.
Kalau kita surut memperhatikan sumbangan-sumbangan dan artikukasi para penulis Islam pada teori Islam, kebanyakan karya kontemporer yang ditulis oleh para teoritisi muslim berbentuk “Doktrin Politik” bukannya teori politik atau falsafah politik,2 sehingga ada kesenjangan kelompok-kelompok Islam yang berkembang saat ini ingin mengarahkan wacana pemahaman ke-Islamannya kepada pendekatan doktrin politik Islam dengan implikasi realitas adalah lahirnya Islam radikal terus menerus dalam fragmentasi politk aktual/Islam radikal

A. Paradigma Korelasi Agama dan Negara
Pencarian konsep tentang negara oleh para ulama politik mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan, ”bagaimana bentuk negara dalam Islam”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki Konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara(menekankan aspek praksis dan substansial), yakni mencoba menjawab “Bagaimana Isi Negara Menurut Islam”. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsif-prinsif dasar berupa etika dan moral. Bentuk negara yang ada pada suatu masyarakat Muslim dapat diterima sejauh tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar tadi.
Kendati kedua maksud tersebut berbeda dalam pendekatan, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni menemukan rekonsiliasi antara idealitas agama dan realitas politik. Realitas antara cita-cita agama dan realitas politik menjadi tugas utama pemikiran politik Islam. Hal ini merupakan tuntutan, karena hubungan antara agama dan politik pada giliran berikutnya antara agama dan negara dalam kenyataan sejarah sering menampilkan fenomena kesenjangan dan pertentangan. Fenomena ini bersumber pada dua sebab yaitu (a). Adanya perbedaan konseptual antara “ agama” dan “Politik” yang menimbulkan kesukaran pemanduan dalam praktek; (b). Adanya penyimpangan praktek politik dari etika dan moralitas agama. Solusi yang ditawarkan para ulama politik, baik pada masa klasik maupun masa modern terhadap kesenjangan hubungan agama dan negara tersebut sangat beragam, sejalan dengan keragaman setting sosio-kultural dan politik yang mereka hadapi. Karenanya, konsepsi pemikir Islam tentang negara tidak luput dari dimensi kultural dan dimensi politik.
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai Paradigma Hubungan dan negara, Makna Politik Islam adalah sebagai berikut: Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.dengan demikian maka dapat kita katakan bahwa makna3 Politik Islam ialah aktivitas Politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.
Dalam pemikiran politik Islam, paling tidak terdapat beberapa paradigma mengenai hubungan agama dan negara. Nuansa diantara ketiga paradigma ini terletak pada konseptualisasi yang diberikan kepada kedua istilah tersebut. Kendati Islam di fahami sebagai agama yang memiliki totalitas dalam pengertian meliputi segala aspek kehidupan manusia termasuk politik, namun sumber-sumber Islam juga mengajukan pasangan istilah seperti Dunya-akhirah(Dunia dan Akhirat), Din daulah(Agama Negara), atau umur ad-dunya-umur addin(urusan dunia urusan agama). Pasangan istilah-istilah tersebut menunjukkan adanya perbedaan konseptual dan mengesankan adanya dikotomi.4
Paradigma pertama, memecahkan masalah di kotomi tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan(Integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar”kedaulatan Ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.
Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Paradigma pemikiran politik Syi’ah memandang bahwa negara(Istilah yang relevan dalam hal ini adalah Imamah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan danmempunyai fungsi keagamaan. Menurut pandangan Syi’ah berhubung legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Muhammad, legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi.
Paradigma “Penyatuan” agama dan negara juga menjadi anutan kelompok “Fundamentalisme Islam” yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai Islam yang dianggapnya mendasar dan prinsifil. Paradigma fundamentalisme menekankan totalitas Islam, yakni Islam meliputi segala aspek kehidupan. Menurut salah seorang tokoh kelompok ini, Al-Maududi, syariat5 tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau agama dan negara. Syariat adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.6
Bentuk realitas politik yang pertama ini, antara skripturalistik dan rasionalistik. Pola politik ini memakai al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber teori dengan mencari makna literal atau teks sehingga kelihatan tanpa interfretasi penafsiran lebih substansial terhadap ayat Qur’an dan Hadist.
Paradigma kedua, memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Pandangan tentang simbiosa agama dan negara ini dapat ditemukan, umpamanya dalam pemikiran al-Mawardi, seorang teoritikus politik Islam terkemuka pada masa klasik, Pada baris pertama dari karyanya yang terkenal, al-Ahkam al-Sultaniyyah’, al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara(Imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi ke nabian, guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dan misi kenabian.
Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syariat(agama), mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti diisyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan dan kepatutan politik. Dengan demikian, al-Mawardi sebenarnya mengenalkan sebuah pendekatan prakmatik dalam menyelesaikan persoalan politik kala dihadapkan dengan prinsip-prinsip agama.
Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut sebagai pembawa pandangan simbiosa agama dan negara adalah al-Gazali, kendati al-Gazali tidak secara khusus dikenal sebagai pemikir politik, namun beberapa karyanya mengandung pemikiran-pemikiran politik yang signifikan seperti Nashiah al-Mulk7, kimiya as-sa’adah dan al-Iktishan fi al-I’tiqad.
Model kedua ini antara idealistik dan realistik, orientasi mereka berifat realistik terhadap kenyataan politik. Ada dua pola kemungkinan implikasi politik dari pemikiran realistik, yaitu melegitimasi kekuasaan atau mengoreksinya, tetapi lewat pemberian isyarat pemberian moral.
Paradigma ketiga, bersifat sekularistik, paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam atau, paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.
Salah satu pemrakarsa peradigma ini adalah Ali Abdul Razik, seorang cendikiawan muslim dari Mesir. Pada tahun 1925, Ali Abd Razik menerbitkan sebuah risalah yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm, yang menimbulkan kontroversi dan yang menyebabkan ia dipecat dari jabatannya sebagai hakim agama oleh semacam majlis ulama Mesir.
Ali Abdul Razik mengatakan pnedapatnya bahwa kekhalifaan tidak mempunyai dasar baik dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi, dalam kedua sumber tersebut tidak pernah disebut mengenai istilah khilafah dalam entertain khalfah yang pernah ada dalam sejarah. Ia juga menolak dengan tegas konsep yang mengatakan nabi Muhammad pernah mendirikan suatu negara di Madinah, menurutnya nabi Muhammad semata-mata adalah utusan Tuhan, bukan sebagai kepala negara atau pimpinan politik8
Ada beberapa paradigma yang pantas dimunculkan untuk menjelaskan relasi antara agama [dalam tulisan ini dibaca: Islam] dan negara. Bahtiar Effendy misalnya, menyatakan bahwa hubungan antara Islam dan negara dapat dipilahkan ke dalam dua kutub pemikiran. Kutub yang pertama, “beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara”,9 sementara pada kutub yang lain, muncul pandangan yang menyatakan bahwa Islam tidak menawarkan suatu teori baku tentang sisetem kenegaraan sehingga harus dijalankan oleh umat Islam10. Paradigma pertama, melihat bahwa terdapat hubungan integratif [menyatu] antara Islam dan politik, sementara pandangan yang kedua lebih bersikap longgar; bahwa hubungan antara sistem pemerintahan [negara] dan Islam hanya bersifat hubungan nilai.
Berbeda dengan Bahtiar, Munawir Sjadzali melihat bahwa diskursus pemikiran politik Islam modern, setidaknya dapat dikategorisasikan ke dalam tiga spektrum pemikiran.11 Ketiga spektrum tersebut adalah: Pertama, Paradigma Integratif, yaitu paradigma yang meyakini agama dan negara memiliki keterkaitan sangat erat, bahkan antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Penganut paradigma ini berkeyakian bahwa Islam adalah suatu agama yang holistik dan lengkap. Oleh karenanya, Islam juga menawarkan pola relasi yang integratif antara agama dan negara. Pemikir politik Islam modern yang menganut paradigma ini antara lain tokoh-tokoh seperti Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, al-Maududi, dan Abdul Kalam Azad. Kedua, Paradigma Sekularistik, yaitu paradigma secara terang-terangan menolak adanya relasi antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua kutub yang berbeda dan bertolak belakang. Agama, (baca: Islam) hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dan tidak menawarkan relasi apapun terhadap sistem kenegaraan dan politik. Kelompok kedua ini menempatkan agama hanya sebagai instrumen nilai dan tidak memberikan aturan baku tentang suatu sistem pemerintahan. Paradigma sekularistik, dalam sejarah pemikiran politik Islam antara lain dipresentasikan Ali Abdul Raziq dan Thaha Husein. Ketiga, Paradigma Simbiotik, yaitu paradigma berusaha mengawinkan antara dua kutub yang berlawanan di atas. Penganut paradigma ini mengakui adanya relasi simbiosis-mutualistis (relasi saling memerlukan) antara agama dan negara. Agama memang tidak secara tegas menganjurkan pembentukan negara, namun dalam agama termuat ajaran-ajaran substantif yang mengandung kerangka dasar nilai etis, dan moral bernegara dan bermayarakat. Pandangan seperti ini dianut oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan Husein Heikal.
Pandangan kaum fundamentalis yang meyakini adanya relasi integratif antara agama dan negara, seperti sudah dikemukakan, betolak dari keyakinan bahwa Islam adalah agama holistik yang menawarkan solusi atas berbagai problem masyarakat. Kesejahteraan dan kebahagian umat hanya dapat diwujudkan kalau ajaran-ajaran Islam dipahami secara baik dan benar. Oleh karenanya, agenda utama umat Islam bagi kalangan fundamentalis seperti al-Banna, adalah bagaimana mewujudkan suatu masyarakat Islami. Meskipun dia tidak secara tegas ingin mendirikan negara Islam, akan tetapi terlihat bahwa konsepsi masyarakat Islami-nya al-Banna, meniscayakan suatu tatanan politik yang diatur secara Islami. Al-Banna, seperti dilaporkan David Commins, “kadang-kadang menulis bahwa pemerintahan baru bisa disebut Islam kalau anggotanya yang muslim menerapkan ajaran Islam”.12 Demikian pula Qutb, yang “tidak memungkiri pentingnya pemerintahan dan hukum Islam, namun dia kurang memberi tekanan pada pembentukan negara Islam; yang dia tekankan adalah perlawanan terhadap negara yang tidak Islam”.13

B. Politik Islam Di Indonesia
Perjalanan politik Islam di Indonesia memang mengalami pasang surut yang tidak dapat dipungkiri mulai sejak awal terbentuknya negeri ini sebagai sebuah negara yang merdeka hingga pasca Reformasi, pada fase-fase tersebut para politisi kita yang membawa bingkai Islam masuk kepanggung politik dengan ihtiarnya masing-masing telah menampilkan berbagai ragam pola, namun kesemuanya senantiasa mengalami benturan dan jalan buntu apabila Islam ingin di formalisasikan kedalam negara. Hal ini adalah pelajaran terbesar sepanjang sejarah perpolitikan Islam di Indonesia. Umpamanya .
1. Politik Islam Pra Kemerdekaan.
Pada masa pra kemerdekaan berdiri sarekat Islam(SI) yang bermula dari sebuah organisasi dagang, yang bermula dari serikat dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi di Solo pada tahun 1911, organisasi ini berkembang menjadi organisasi politik nasional pertama di Indonesia yang dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Moeis, ia adalah organisasi politik pertama yang menuntut kemerdekaan penuh.
Serikat Islam merupakan organsasi politk pertama dan mendapat dukungan besar serta ia juga merupakan refresentasi semua kelas, baik di Kota-kota maupun di Desa-desa, para pedagang, buruh, kiyai dan ulama. Meskipun ia jaya, tetapi ia tidak mampu mempertahankan kejayaannya. Sekitar tahun 1920 akhir kejayaannya mulai memudar.
Memudarnya peran Serikat Islam(SI) ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: ketidakmampuan para aktifisnya untuk menyelesaikan komplik perbedaan pendapat di antara mereka, terutama masalah arah orientasi politik, terutama setelah Marxisme di bawa masuk ke dalam organisasi ini.14 Begitu juga pasca kongres Surabaya, tahun 1921 semakin besarnya komplik internal organisasi, seperti pngunduran diri Abdoel Moeis, terjadi friksi antara SI dan Muhammadiyah. Terlebih lagi dengan wafatnya Cokroamonoto pada tahun 1934.
Ketidak tertarikan ini semakin muncul dan membuat orang tidak menarik, salah seorang anak didik Cokroaminoto yang lebih muda dan terdidik secara barat membentuk organisasi politik tersendiri yaitu Partai Nasional Indonsia(PNI) pada tahun 1927 dengan mengembangkan faham ideologi yang berbeda .15
Dalam konteks historis inilah dua kelompok yang saling bertentangan muncul dalam politik diskursus politik Indonsia:(1). Golongan Islam(2). Golongan Nasionalis.
Ahmad Hassan, Pemimpin Persis(Persatuan Islam)mengkritik nasionalisme sebagai sesuatu yang berwatak chauvinistik.16 Nasir juga sebagai murid Ahmad Hassan mengkhawatirkan bergulirnya faham nasionalisme Soekarno menjadi bentuk ashabiyah baru dan dapat berujung kepada fanatisme. Menurutnya, perjuangan nasionalisme harus senantiasa dilandasi dengan niat suci Ilahiyah dan melampaui hal-hal yang bersifat material. Oleh karena itu, perjuangan untuk mencapai kemerdekaan harus diniatkan sebagai pengabdian yang tertinggi kepada Allah.
Bila di lihat secara cermat baik Belanda maupun Jepang sama-sama mengeksploitasi ummat Islam. Namun, ada perbedaan, terutama karena pihak Belanda hanya memberi peluang yang amat sedikit bagi kegiatan politik Islam. Pihak Jepang kebalikannya membuka pintu lebar kepada ummat Islam untuk berpengalaman dan turut serta secara langsung dalam politik dan latihan militer , kedua corak pengalaman tersebut punya makna tersendiri bagi langkah maju ummat Islam selanjutnya.
Manfaat lain dari pendudukan Jepang bagi ummat Islam adalah kesempatan untuk membentuk “Lasykar Hizbullah”17 pada akhir tahun 1944.

Masa Kemerdekaan
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang perbedaan politik selama bulan-bulan menjelang kemerdekaan, perdebatan sengit dalam BPUPKI(Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan), antara wali-wali ummat Islam dan pemimpin-pemimpin nasional Perlu di kaji lebih teliti. Isu yang paling krusial dalam perdebatan-perdebatan itu adalah pembicaraan tentang Ideologi negara Indonesia yang bakal lahir.
Pada 1 Juni 1945 diselenggarakanlah sidang-sidang pertama yang ternyata berlangsung cukup hangat. Anggota sidang semula berjumlah 60, kemudian di tambah 8, menjadi 68. Dilihat dari perimbangan ideologi politik, menurut pengamatan Prawoto Mangkusasmito, hanyalah sekitar 20% saja dari jumlah 68 itu yang benar-benar mewakili aspirasi politik golongan Islam.18
Dalam pembahasan ini, BPUUPK adalah merumuskan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam konstitusi, selain pembicaraan tentang dasar filsafat negara, BPUUPK, tidak menemui kesulitan yang berarti dalam kerja konstitusionalnya, karena memang memandang tidak menyentuh masalah ideologi dasar yang biasa mengundang kepekaan psiko-emosional.
Perdebatan-perdebatan mengenai dasar negera, berawal di sini. Masalah ini diperdebatkan secara berulang kali, namun pada akhirnya ummat Islam dengan terpaksa selalu dalam posisi menerima, di sini pula penerimaan dari konsep piagam Madinah yang dipertahankan oleh Ki Bagus, namun dalam waktu 15 menit rumusan tersebut dapat berubah dengan peran Hatta yang mencoba membujuk Ki Bagus lewat Teuku Muhammad Hassan wakil Sumatera dalam PPKI, kalimat pertama berhasil dihilangkan dan di ganti dengan atribut Yang Maha Esa.19
Sebelum kemerdekaan, bangsa Indonesia khususnya umat Islam berupaya menjadikan Islam sebagai roh (spirit) perjuangan dan "injeksi sosial" dalam menumbuhkan semangat kebersamaan, kekompakan dalam mengusir penjajah dari atas bumi Indonesia. Para tokoh Islam (kiai/ulama) atau pemimpin pesantren berlomba-lomba mengerahkan santrinya untuk ikut berjuang melawan kebiadaban penjajah. Gema takbir (Allahu Akbar) selalu menggema di segala penjuru sebagai komando kekompakan dan kebersamaan langkah untuk melawan penjajah. Organisasi NU pernah memberikan fatwa jihad kepada seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam, bahwa setiap rakyat Indonesia yang laki-laki wajib hukumnya ikut terlibat aktif dalam upaya mengusir penjajah dari Indonesia. Dalam periode ini, Islam benar-benar menjadi kekuatan kultural bagi umat Islam dalam melawan segala bentuk yang tidak sesuai dengan norma, etika dan nilai sosial, dan agama. Artinya, Islam benar-benar dijadikan landasan untuk membangkitkan semangat juang demi mencapai kebebasan (kemerdekaan) Bangsa Indonesia.
2. Politik Islam Masa Kemerdekaan
Setelah peristiwa kemerdekaan dirayakan, maka persoalan tidaklah terhenti hingga di sini, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI dengan jumlah anggota yang semula 21 orang, kemudian usul Soekarno menjadi 27 orang, dari jumlah ini hanya tiga orang saja berasal dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, KH.Wahid Hasyim dan Kasman Singodimejo. Melihat fakta ini, betapa kecilnya jumlah wakil Islam yang duduk dalam PPKI. Dari sini,i kita dapat melihat bahwa betapa kecil wakil sesuatu golongan dalam suatu badan politik. Tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah pengikut dari golongan tersebut, tapi juga ditentukan oleh kegigihan pemimpin-pemimpin mereka dalam merebut posisi-posisi penting. Tampaknya pada waktu itu wakil-wakil golongan Islam terlalu rendah hati untuk tidak berebut menguasai PPKI, hingga jelas wakil nasionalis menjadi sangat dominan dalam badan itu. PPKI yang di bentuk pada bulan Agustus adalah pengganti BPUUPK yang telah dibubarkan.
Sidang PPKI tanggal 18 itu adalah untuk menetapkan UUD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden, UUD yang ditetapkan adalah UUD yang kemudian dikenal dengan UUD 1945, tapi Embrionya, baik pembukaan maupun batang tubuh UUD yang telah di rancang jauh sebelumnya, termasuk di dalamnya Piagam Jakarta.20
Untuk menghadapi kemungkinan serangan dari pihak eksternal, Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat tanggal 3 November 1945, isinya memperbolehkan mendirikan partai politik untuk menyusun kekuatan dalam membangun bangsa Indonesia. Merespons maklumat tersebut, umat Islam dari berbagai aliran (kelompok) menggelar Kongres di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945 yang membahas kemungkinan umat Islam mendirikan partai politik tersendiri yang mampu menjadi wadah aspirasi umat Islam. Pada tahun inilah disepakati mendirikan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan dinyatakan sebagai satu-satunya partai umat Islam yang akan memperjuangkan aspirasi umat Islam Indonesia.
Dilihat dari data sosiologis bahwa pendukung utama partai baru itu ialah Muhammadiyah dan NU, jadi jelas secara ideologis, Masyumi adalah kelanjutan dari MIAI, tetapi kali ini mengkhususkan perjuangannya di bidang politik, dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Awal kelahirannya selain dari Muhammadiyah dan NU sebagai pendukung utamanya, hampir semua organisasi Islam baik lokal maupun Nasional. Kecuali Perti, mendukung kehadiran Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Ummat Islam di Indonesia.21
Memang dilihat dari sejarah berdirinya dan pendukung kuatnya adalah NU dan Muhammadiyah, maka sangat menempati posisi strategis di Bangsa ini, sebagai refresentasi dari keseluruhan ummat Islam, tetapi kelompok pendukung tak selamanya dapat konsisten dengan dukungannya, sehingga pada awal tahun 1950-an NU menarik dukungannya sehingga pelan-pelan Masyumi mengalami kelemahan dalam perjuangannya..
Perjalanan Masyumi tidak bisa mulus, pertentangan dan konflik komponen Islam yang ada di dalam Masyumi mulai muncul dan sulit didamaikan, yaitu antara kubu tradisionalis (NU) dan modernis (Muhammadiyah). Akibat konflik yang tidak bisa di selesaikan, akhirnya NU menyatakan keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri bernama partai Nahdlatul Ulama (Partai NU), di susul Syarikat Islam (SI). Pemilu pertama bagi bangsa Indonesia setelah kemerdekaan, menghasilkan empat kekuatan Politik terbesar yaitu, PNI (57 kursi) atau 22,3%, Masyumi (53 kursi) atau 20,9%, NU (45 kursi) atau 18%, dan PKI (39 kursi) atau 15%. Jumlah total kursi DPR yang diperebutkan sebanyak 257.
Berdasarkan hasil pemilu tesebut, dapat dikatakan bahwa umat Islam telah memperoleh prestasi sangat besar dalam bidang Politik. Jika di akumulasi perolehan Masyumi dan NU mencapai hampir 50% kekuatan Politik bangsa Indonesia. Di masa orde lama ini, umat Islam berlomba-lomba mendirikan partai Politik, tetapi parpol yang memiliki dukungan signifikan dari umat Islam hanyalah Masyumi dan NU. Berdasarkan kenyataan ini, Islam dinyatakan resmi sebagai ideologi Politik umat Islam, akibatnya Islam selalu berkaitan dengan masalah kekuasaan.
Meskipun demikian Mohammad Nasir sebagai wakil dan pemimpin Masyumi tetap berjuang dalam pemerintahan yang senantiasa dipimpin oleh kelompok nasionalis yang dapat mengangkat pencitraan Masyumi dari segi sumber daya partai Masyumi ke dalam peran kenegaran yang lebih besar, sehingga tiga tahun Partai Masyumi diberikan kepercayaan untuk memimpin kabinet.22
3. Politik Islam Orde Baru
Periode Orde Baru. Periode ini dapat dikatakan sebagai periode depolitisasi bagi umat Islam, yaitu upaya penyederhanaan atau pengelompokan kekuatan Politik. Di bawah rezim Orde Baru (Soeharto), kekuatan politik dikelompokkan menjadi tiga besar (a) Kelompok Birokrasi (Golkar), (b) Kelompok Politik Islam (PPP), (c) dan kelompok Nasionalis dan non-Islam (PDI). Pada periode ini, umat Islam (NU, Perti, PSII, dan Parmusi) terkumpul dalam wadah satu partai PPP.
Maksud dan tujuan melakukan penyederhanaan kekuatan politik karena Islam bisa jadi, menjadi kekuatan politik yang sangat besar dan bisa mengancam kelangsungan kekuasaan rezim Soeharto. Dengan demikian, pada era Orde Baru ini, Islam tetap menjadi kekuatan Politik, tetapi hanya sebatas dalam konteks PPP; Islam dijadikan "bonsai" Orde Baru, dalam arti, boleh hidup dan berkembang, tetapi tidak boleh besar kalau besar akan membahayakan stabilitas Politik Orde Baru.
Pada saat kampanye (mencari dukungan) PPP selalu menghembuskan isu bahwa PPP adalah satu-satunya partainya umat Islam sehingga muncul pemahaman dalam masyarakat, bahwa umat Islam wajib hukumnya memilih PPP. Akhirnya, kedua kekuatan politik lainnya Golkar dan PDI selalu dijauhi oleh umat Islam. Kalau ada umat Islam menjatuhkan pilihan Politik kepada selain PPP, dianggap tidak taat terhadap Islam (tidak santri).
Orang boleh saja berbeda menilai selama tiga puluh dua tahun Republik yang baru berlalu ini, baik dalam artian positif maupun negatif.23 Namun beberapa hal tidak mungkin diingkari mengenai orde baru. Stabilitas sosial politik dan pembangunan ekonomi, lebih-lebih tentang stabilitas itu, pemerintah Orde Baru telah di catat para pengamat seperti M.C Ricklefs sebagai amat berhasil mewujudkannya. Ia juga mengamati sementara alternatif yang dimungkinkan akan menimbulkan berbagai bentuk keberadaan ideologis yang prinsifil. Banyak orang Indonesia dari semua lapisan masyarakat memilih pemerintahan orde baru dari yang lainnya, sambil mengajukan argumen bahwa reformasi dari dalam adalah pilihan yang paling praktis.24
Stabilitas itu terutama diwujudkan dalam bentuk ke-amanan, ketertiban dan keutuhan wilayah negara. Sedangkan pembangunan ekonomi sering dinyatakan telah berhasil mengangkat kita, menjadi bangsa dengan berpenghasilan menengah. Sementara kedua hal itu terjalin, namun tidak dapat diragukan bahwa yang lebih dominan dari keduanya ialah stabilitas, dalam urutan signifikansinya mendahului pembangunan ekonomi. Justru stabilitas diciptakan untuk memungkinkan pembangunan ekonomi, sedangkan konstribusi keberhasilan ekonomi seperti yang ada sekarang bagi terwujudnya stabilitas malah sering dipertanyakan orang, khususnya yang menaruh keprihatinan pada soal demokrasi dan keadilan sosial.25
Dengan munculnya orde baru yang dimulai dengan gagalnya kudeta PKI pada tahun 1965, banyak pemimpin Politik Islam menaruh harapan besar. Hal tersebut benar-benar diinginkan oleh bekas pemimpin Masyumi dan pengikutnya yang pada masa Soekarno senantiasa disudutkan. Hal tersebut terbukti dengan dibebaskannya tokoh-tokoh Masyumi yang di Penjara oleh Soekarno antara lain: Muhammad Nasir, Syafruddin Prawira Negara, Muhammad Roem, Kasman Singodimejo, Prawoto Mangku Sasmito, dan Hamka.
Tetapi segera menjadi jelas bahwa pemerintah Orde Baru tidak bermaksud merehabilitasi Masyumi. Antara lain disebutkan, dalam upaya memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945, pada Desember 1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka :
“Akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, dan dari aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan melalui pemberontakan PKI di Madiun, Gestapu, DI/TII [sebuah gerakan Islam yang paling fanatik dan kuat pada tahun 1950-an dan memperoleh dukungannya di Jawa Barat yang berupaya mendirikan negara Islam dengan kekuatan senjata] dan Masyumi-Partai Sosialis Indonesia.”26
Meski demikian masih ada permainan intern para tokoh-tokoh Masyumi yang tetap ingin mendirikan sebuah partai politik, maka pada tahun 1967 dibentuklah panitia tujuh untuk bernegosiasi dengan pemerintah Orde Baru untuk mendirikan partai baru. Berkenaan dengan hal ini, tampaknya pemerintah orde baru tidak mau menghalangi bekas pemimpin Masyumi, meskipun ada kekhawatiran akan memunculkan Islam politk lagi.
Maka pada tanggal 20 Februari 1968, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) resmi di Bentuk, dibawah kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua aktifis Muhammadiyah. Meski demikian orde baru masih mengintervensi mengenai kepemimpinan dalam partai tersebut secara tidak langsung. Masa ini menurut Bahtiar Effendi adalah masa penjinakan Idealisme dan aktifisme politik Islam.27
Menurut Caknur, Orde baru menunjukkan banyak segi yang lebih baik bagi kaum muslim dibanding dengan orde lama. Mungkin hal ini mengandung logikanya sendiri, mengingat bahwa dari awal perkembangannya, orde baru mendapat dukungan paling kuat dari kelompok-kelompok beraspirasi politik Islam ketimbang kelompok-kelompok lain. Tentu saja hal ini diingatkan tanpa mengurangi peranan kelompok-kelompok lain.
Bentuk perkembangan sosial yang biasa ditunjuk sebagai gejala kebangkitan Islam Indonesia. Meskipun gejala itu mempunyai aspek global(terjadi hampir diseluruh dunia Islam).28 Perkembangan ummat Islam meski tidak menampakkan dalam bentuk formalisme partai tetapi, tetapi gejala yang lahir pada lapisan masyarakat semangat keberagaman nampak dengan jelas.
Untuk melihat lebih jauh mengenai peran praktis dan karakteristik yang dilakukan pemerintahan orde baru kepada Islam politik,maka alangkah baiknya kita melihat beberapa hal mengenai ciri utama rezim orde baru.
Hikam, dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dependensi dan strukturalis berpendapat bahwa pembentukan negara Orde Baru disesuaikan dengan proses pembentukan kapital yang tidak bisa dipisahkan dari proses “transnasionalisasi”. Disini negara dipandang sebagai kekuatan yang memainkan peran sebagai alat dari kelompok elit yang terdiri dari kelas borjuis, tentara dan para teknokrat29 Ketika kita mencoba membandingkan apa yang diungkapkan Tornquist, yang juga menyebut unsur kapital luar negeri sebagai satu faktor penting orde baru, disamping menekankan kedudukan dominan ABRI dan Teknokrasi 30
Sedangkan Liddle berpendapat bahwa ada tiga ciri menonjol Orde Baru yang membuat orang bersikap optimistik terhadap kemungkinan berhadilnya rezim ini. Pertama, menonjolnya golongan Teknokrat, yaitu pakar ekonomi profesional berpendidikan barat. Kedua Dominasi ABRI pada politik tingkat tinggi dan tiadanya oposisi sehingga stabilitas politik bisa terjamin, Ketiga, birokrasi yang kompak. Sedangkan alfian mengemukakan ciri-ciri lain dari orde baru adalah: Sistim partai yang jauh lebih sederhana, Dominannya Peran ABRI terutama pada awal orde baru, adanya kekuatan politik, berhasilnya pendukung utama orde baru meraih jumlah mayoritas di Parlemen dan Majelis Pemusyawaratan Rakyat(MPR) dan kesetiaan mereka kepada tekad orde baru.31
Memang tak dapat dipungkiri kalau Orde Baru telah memberikan penjinakan Idealisme kepada kelompok Islam, dan memanfaatkan peta perpolitikan Ummat Islam dalam sejarah yang tidak pernah bersatu sehingga tidak ada kecemburuan yang nampak, meski demikian sebenarnya patut dicatat kalau Soeharto sebagai seorang yang Muslim meskipun tidak sama nilai pemahaman doktin ke-Islaman dengan kelompok Islam yang selalu memperjuangkan Islam melalui partai dengan simbol-simbol/foramlisme, tetapi secara makro ummat Islam telah mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Apalagi pada akhir-akhir dari kabinet Soeharto mulai menampakkan gandengannya kepada kelompok Islam meskipun ia tetap konsisten dengan pemberlakuan azas tunggal yaitu Pancasila sebagai dokrin nasionalisme kepada semua elemen penduduk yang mana masih memerlukan diskusi panjang apa mampu untuk bertahan atau akan ada amandemen untuk merefresentasikan semua aspirasi penduduk dari sabang sampai merauke.
4. Politk Islam era Reformasi
Sejak jatuhnya Soeharto sebagai simbol kejayaan Orde Baru selama tiga puluh dua tahun berjaya tersebut, menimbulkan kran keterbukaan yang luar biasa kepada semua elemen masyarakat sehingga mengalami kebebasan tanpa batas, bahkan hampir tanpa aturan, semua lapisan masyarakat mulai merasa pintar untuk mengadakan kritis yang belum tentu mampu untuk memberikan jawaban terhadap kekritisan tersebut.
Periode Reformasi,32 yang digulirkan sejak tahun 1998, membuka kran kebebasan dan keterbukaan yang seluas-luasnya dalam segala bidang, khususnya bidang politk. Partai politik bertebaran ibarat jamur di musim hujan. Asumsi yang digunakan, semakin banyak partai politik, akan mempercepat proses terwujudnya demokratisasi.
Meskipun usaha menumbangkan Soeharto sebagai simbol orde baru dan memasuki babakan baru reformasi telah dimulai, tetapi beberapa saat setelah reformasi tersebut di sana-sini berbagai kalangan mengalami keraguan akan tidak jalannya perjuangan reformasi tersebut, katakanlah Amin Rais yang pada satu kesempatan sempat mengatakan ”kita melihat reformasi yang diujung tombaki oleh adik-adik kita mahasiswa sekitar dua tahun lalu, sekarang ini mengalami hambatan yang cukup berat, bahkan mungkin bukan saja jalan ditempat, tetapi di sana sini saya kira mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan”.33
Partai-partai Islam, memiliki cara pandang berbeda dalam memposisikan Islam. Sebagian menjadikan Islam sebagai ideologi secara formal struktural dalam partai atau sebagai ideologi resmi, misalnya PPP, Partai Keadilan Sejahtera, PBB, PKU, PUI, dan PNU. Sebagian lainnya memposisikan Islam hanya sebagai roh (spi-rit) perjuangan partai. Dengan demikian, Islam masuk dalam partai politik bukan secara tekstual, melainkan secara substansial. Mereka menamakan sebagai partai terbuka, seperti PKB dan PAN. Sebagian lagi dengan cara melakukan pendekatan atau perekrutan tokoh-tokoh Islam masuk dalam jajaran pengurus partai seperti Partai Golkar dan PDIP. Kelompok ini seringkali melakukan pendekatan kepada kelompok-kelompok Islam seperti pesantren terutama menjelang proses pemilu. Dengan demikian dapat dikatakan, Islam diperlakukan berbeda-beda oleh masing-masing elite partai, tetapi pada hakikatnya Islam tetap menjadi sasaran rebutan untuk membesarkan partai politik bagi elite politik Indonesia.
Bertitik tolak dari keberhasilan gerakan reformasi itu, sepatutnya kita semua, tanpa terkecuali, ikut melibatkan diri dalam usaha bersama mencari jalan memperbaiki keadaan secara menyeluruh. Logika gerakan reformasi adalah kritik terhadap bentuk keadaan yang sedang berlaku, dan usaha mendapatkan bentuk keadaan yang lebih baik. Karena logika itu, maka suatu reformasi tidak mungkin dimulai dari titik nol atau titik ketiadaan, betapapun radikal dan fundamentalnya perbaikan yang yang diusahakan. Justru keberhasilan gerakan reformasi harus dipandang sebagai kelanjutan wajar dan alamiah dari tingkat kemajemukan masyarakat dan dinamika perkembangannya. Maka pandangan yang tetap ingin mempertahankan status quo dengan sendirinya akan tampil sebagai penghalang reformasi, sebab pandangan itu merupakan suatu bentuk pengingkaran terhadap logika perkembangan masyarakat.34
Dalam perubahan pada masa reformasi ini tidak hanya pada tingkat intelektual atau pemikiran, tetapi juga pada tingkat kelembagaan. Perubahan pada dua aspek ini berkaitan erat satu sama lain, dan karena itu sulit dan hampir tak dapat dipisahkan . dengan kata lain perubahan pada tingkat kelembagaan Islam dikawasan ini pada dasarnya sekaligus merupakan pengejewantahan atau aktualisasi dari perubahan-perubahan dan perkembangan yang terjadi pada tingkat pemikiran.35

C. Formalisme Atau Inklusivisme Politik Islam
Agama sebagai sesuatu yang inheren dalam diri manusia, merupakan sesuatu yang tidak dapat diingkari keberadaannya. Dan sangat mempengaruhi dalam rutinitas aktifitasnya. Begitu juga agama sangat berfungsi dalam politk tetapi kita harus melihat pada tingkat apa agama itu digunakan dalam politik. Ia harus jelas dahulu. Kita tidak bisa menggeneralisasikan. Agama boleh saja dimasukkan kedalam politik, bahkan mungkin perlu, misalnya saja pada level political ethics, seperti mengajarkan-katakanlah yang paling sederhana, khususnya dalam Islam supaya kita berakhlak baik dalam berpolitik.
Dalam konteks seperti ini, agama memang perlu untuk membimbing tingkah laku dan moral politik. Islam, misalnya, mengajarkan keadilan yakni salah satu konsep sentral dalam Islam, selain tauhid yang merupakan konsep paling tinggi.36
Munculnya kekerasan ketika politik dan masyarakat menggunakan simbol-simbol agama dalam politik, ini pada level lain, penggunaan agama dalam politik, yakni penggunaan simbol-simbol agama, apakah itu berupa lambang, ayat-ayat al-Qur’an, maupun hadist rasulullah sebagai untuk kepentingan. Pada level ini, penggunakan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik sesaat, jangka pendek, harus dihindari sebab bisa menimbulkan perpecahan dan komplik dikalangan umat.37
Formalisme agama, terutama dalam agama Islam pasca orde baru sangat menonjol, hal ini disebabkan karena adanya kerinduan masyarakat terhadap Islam, meski demikian formalisme-formalisme tersebut lebih nampak kepada integrasi emosional muslim terhadap kekhawatiran dahulu dengan tekanan orde baru. Tetapi semakin dikaji dalam konteks historis dan ilmiyah maka akan semakin menemukan varian yang variatif dengan substansi agama.
Habibie, misalnya. Oleh pendukungnya dikenal sebagai refresentasi Islam yang kemudian menggunakan simbolisasi Islam, melihat hal tersebut sebagai ancaman terhadap Islam. Ini menimbulkan reaksi balik, dan menggunakan terminologi Islam seperti jihad merupakan cara paling mudah. Ini adalah circle(lingkaran) dari aksi dan reaksi itu. Kalau kita tidak dapat mengatasi masalah ini, ia akan berujung pada circle of violence (lingkaran kekerasan).38
Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia Politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 32 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
Konsep ummat menggambarkan suatu masyarakat yang beriman dan bercorak universal. Setiap muslim yang sadar merasakan benar bahwa ia adalah anggota ummat itu, identitasnya sebagai muslim banyak ditentukan oleh keterikatan spiritualnya dengan persaudaraan universal itu. Secara teori ummat Islam percaya bahwa ajaran Islam itu meliputi seluruh dimensi kemanusiaan.39
Ahmad Syafii Ma’arif, tampaknya memiliki satu obsesi akan tampilnya Islam sebagai agama yang memiliki kekuatan transformatif bagi kehidupan umat. Sayang, obsesinya masih jauh panggang dari api. Umat Islam, menurutnya, ada dalam buritan peradaban disebabkan telah lama melepaskan diri dari pesan-pesan moral al-Qur’an. Indikatornya, pertama, dihilangkannya prinsip musyawarah dalam dunia Islam. Tampilnya sistem dinasti dalam sejarah Politik negara-negara Muslim merupakan bukti amat gamblang bagi terlepasnya dunia Islam dari doktrin etika dan moral al- Qur’an.
Bangunan politk yang sesuai moralitas Al-Qur’an, menurutnya hanya ada pada periode Nabi dan periode al-Khulafa al-Rasyidin, khususnya sebelum pecah perang Siffin. Sedangkan pada periode berikutnya, dasar moral yang diajarkan wahyu mulai telantar di bawah duli mahkota khalifah, amir, raja, sultan atau presiden yang tidak jarang saling berperang dan baku hantam sesama mereka. Kedua, dalam kontes Indonesia, doktrin etika dan moral Al-Qur’an, masih lebih menonjol dalam retorika, bahkan menjadi komoditas politik para politisi, daripada sebagai pedoman hidup sehari-hari. Contoh paling menonjol dari fenomena ini adalah munculnya beberapa komponen umat yang menuntut diberlakukannya syariat Islam dan atau diberlakukannya kembali Piagam Jakarta. Mereka ini, disebut Ahmad Syafii Ma’arif sebagai kelompok yang lebih menekankan simbol daripada substansi, lebih tertarik pada politik gincu atau bendera daripada politik garam. Pada era Orde Lama, kelompok ini antara lain diwakili Darul Islam (DI), pada era Orde Baru oleh kelompok Negara Islam Indonesia (NII), terdiri dari sisa-sisa DI yang dimanfaatkan Ali Moertopo.40
Secara teoritis partai Islam dapat dinyatakan sebagai partai dengan azas, visi, misi dan tujuan untuk mencapai dan menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk tujuan tersebut, sangat mudah memetakan issu yang dikemas partai-partai Politk Islam yang bersangkutan. Sekaligus secara umum, isu yang dikembangkan tetap atas dan demi tujuan demokrasi, tetapi pemahaman demokrasi yang berkembang dan yang dicita-citakan tetap di dasarkan pada norma-norma agama yang dianut. Penjelasan yang senantiasa disebut dalam konteks ini adalah bahwa Islam dan demokrasi bukan dua ideologi yang saling bertabrakan. Sebaliknya, Islam dan demokrasi adalah dua ideologi yang saling menunjang dan saling melengkapi. Meskipun demikian politik Islam tetap menyentuh persoalan-persoalan aktual yang lain seperti krisis ekonomi, kriminal dan krisis moral.
Berdasarkan hal tersebut maka partai-partai politik Islam hampir memiliki cara pandang yang sama dengan beberapa partai politik non agama lainnya. Hanya saja cara menyelesaikan kasusnya tetap didasarkan atas dasar prinsip-prinsip Islam.41
Islam secara simbolik dalam bentuk kepartaian dinilai oleh masyarakat hanya mengeksploitasi mayoritas ummat Islam karena tujuan akhir “Partai-partai Islam” hanya pada kekuasaan. Hal tersebut merupakan konklusi realitas pada personifikasi individual, karena partai Islam secara ideal konseptual hanya ada dalam konsep tetapi dalam realitas sangat sukar dan hampir merupakan utopia. Dengan demikian partai Islam
Tetapi mungkin ada benarnya cakcur, disatu sisi yang menginginkan Islam dalam bentuk partai tidak terlalu urgen, tetapi Islam ada pada setiap partai meskipun hal partai tersebut tidak didasari oleh partai yang berlabel Islam, hanya yang menjadi Ironis kemudian Caknur dinilai tidak konsisten dengan prinsipnya dengan adanya keinginan dia untuk menjadi sebagai presiden dengan memakai strategi mendekati partai-partai Islam, padahal jika dia mau dia harus berprinsif bahwa dari tidak adanya kesepakatannya terhadap partai Islam, maka dia juga tidak boleh melewati proses yang tidak ideal menurutnya.
Mungkin ada tepatnya beberapa Ilmuan kita yang tetap menginginkan agar orang-orang Islam tidak dengan sangat mudah menjual simbolisme/formalis Islam dalam bentuk apa saja, karena ia akan semakin tidak simpatik dan menarik untuk golongan lain adanya Justivikasi partai yang paling benar.
Tetapi bagi elite Politik Indonesia, Islam ibarat "gadis cantik" yang selalu dijadikan rebutan untuk memperbesar kekuatan masing-masing partai Politk. Hal ini dapat dilihat dari upaya memasukkan Islam kedalam kekuasaan menjadi dasar negara secara resmi.

III. Kesimpulan
Dari penjelasan yang cukup panjang ini, maka penulis dapat membuat beberapa catatan sebagai kesimpulan makalah antara lain :
1. Komplik Ideologi Negara tidak hanya terjadi saat ini, tetapi wacana itu telah diperdebatkan pada era 1950-an diantara partai yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai dasar Negara. Meskipun tidak dapat dipungkiri kalau kelompok nasionalis lahir dari organisasi Islam.
2. Dalam konteks realitas Partai Islam tidak dapat dibendung kelahirannya, tetapi untuk memberlakukan syariat Islam secara utuh di Nusantara masih amat jauh karena format syariat Islam yang permanen belum jelas rujukannya yang mana dan bagaimana, disamping itu negara Indonesia adalah negara flural
3. Partai-partai Islam, kebanyakan lahir karena sentuhan emosional terhadap keterkungkungan pada periode Penjinakan Idealisme orde baru dan orde lama, tetapi secara faktual masih sangat dini dan akan terjadi komplik intern, karena untuk saat ini aktifis/politisi Islam lebih cenderung mencari kekuasaan daripada konsisten dengan Model Islam yang Ideal, jangankan untuk ummat untuk pribadinya saja belum mampu

Catatan Kaki:

Azyumardi Azra mengemukakan komentarnya kalau perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya pada awal abad kedua puluh terlebih lagi, pada masa orde baru tetapi ia melihat lebih jauh dengan pendekatan sejarah perkembangan Islam di Indonesia, Ia berpendapat kalau pembaharuan Islam di Indonesia telah terjadi pada abad ke-17, yaitu dengan munculnya reorientasi terhadap Islam, melalui pemurnian ajaran-ajaran Islam,Lihat Azyumardi Azra, Islam Substantib, (Bandung: Mizan, 2000), h. 143
2 Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam State diterjemahkan dari, State Politic, and Islam, (Bandung: Mizan, h. 15
3 Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar), Cet. I).
4 Din Syamsuddin, Ed.(Abu Zahra), Politk Demi Tuhan, (Bandung: Pustka Hidayah, 1999), h. 45
5 Negara yang berdasar Syariat dalam pandangannya di dasari empat prinsip yaitu :a) ia mengakui kedaulatan Tuhan, b)menerima otoritas Nabi Muhammad, c) Memiliki status wakil Tuhan, d) musyawarah
6 Abu A’la al-Maududi, “Political theory of Islam”, dalam Khursyid Ahmad (ed), .Islamic law and constitution, Lahore, 1967, h. 243
7 Dalam karya Gazali ini mengisyaratkan hubungan Pararel antara agama dan negara , seprti dicontohkan antara pararel nabi dengan raja, menurut gazali, jika Tuhan telah mengirim nabi-nabi dan memberi mereka wahyu, maka dia juga telah mengirim raja-raja dan memberi mereka” kekuasaan Ilahi”, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu kemaslahatan kehidupan manusia. Lihat dalam Nashihah al-Mulk. Taheran, 1317 h. 10.]
8 Ali Abdul Razik, Al-Islam wa- ushul al-Hukm, Beirut, h. 42
9 Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam diIndonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998) h. 12
10 Ibid.,
11 Sjadzali, Munawir. Islam dan Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, cet. V., (Jakarta: UIP, 1993), h.1-2
12 Commins. David, “Hassan al-Banna:1906-1949”, dalam Pioner of Islamic Revival. Ali Rehmana, (ed.) (London: Zed Books Ltd, 1994), h. 136
13 Binder, Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, Terj. Imam Muttaqin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 260
14 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi pemikiran dan praktek politik Islam di Indosia,( akarta:Paramadina, 1998), h. 61-63
15 Ibid., h. 69
16 Faham Chauvnistik dalam faham nasionalisme sebanding dengan pemahaman orang-rang aran dengan kesukuan(Ashabiyyah) sebelum datangnya Islam.
17 Hizbullah adalah semacam kesatuan militer bagi pemuda-pemuda Muslim. Lewat hizbullahlah pemuda-pemuda dilatih menjadi militer yang teratur, Menurut KH.Masjkur hizbullah pertama berasal dari lingkungan pesantren NU , kemudian menjadi milik ummat secara keseluruhan.. diantara simbol atau semboyan keagamaan yang sangat populer pada waktu itu adalah : “Hidup Mulia atau mati syahid”
18 A. Syafii Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Parama Abiwara, 1988,) h. 20
19 Ibid., h. 29
20 Ibid.,
21 Ibid.,
22 Ibid.,
23 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 4
24 M.C. Riclefs, A History of Modern Indonesia,(Blooming-ton, Indiana University Press, 1981), h. 278
25 Nurcholish Madjid, Opcit, h. 5
26 Bahtiar Effendy, Op.cit, h. 111-112
27 Ibid.,
28 Nurcholish Madjid, Opcit, h. 50
29 Hikam, AS, The state, Grassroots politik and civil Sosiety (Honoluluawai:Universiti Of Hawai,1995 ), h. 99
30 Tornquist, O.Dilemma Of Third Word Communism, (London: Zed Books Ltd, 1984), h. 55
31 Alfian, Politk, Kebudayaan dan manusia Indonesia, (Jakarta:LP3ES, 1980), h, 59
32 Reformasi dalam Islam Identik dengan Ishlah, yakni memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu yang belum sempurna termasuk mengganti yang usang dan rusak. Dalam al-Qur’an kata ishlah dipergunakan sebanyak 41 kali.Lihat Said Aqil Siradj, Islam kebangsaan”Fiqih demokratik kaum santri” (Jakarta:Pustaka Ciganjur, 1999), h. 126
33 Amin Rais(hasil seminar dan diskusi KAHMI), Reformasi dalam stagnasi, (Jakarta :Yayasan al-Mu’min, 2000), h 1
34 Nurcholish Madjid, Opcit, h. 185
35 Azyumardi Azra, Islam Reformis”Dinamika Intelektual dan gerakan” (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. VI
36 Azyumardi Azra, Islam Substantib, Opcit, h. 138
37 Ibid.,
38 Ibid.,
39 Ahmad Syafii Ma’arif, Op.cit h. 18
40 Dikutip dari tulisan Abd Rohim Ghazali(Politik Islam Inklusif”Mempertimbangkan gagasan politik Ahmad Syafii Ma’arif, Aktivis Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah, mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
41 Ray Rangkuti, (Kordinator KIPP Indonesia)makalah dalam Seminar Nasional Sehari”Menatap masa depan politik Islam Indonesia, diselenggarakan di UIN pada tanggal 10 juni oleh IIIT dan BEM UIN

Selasa, 12 Januari 2010

INFÂQ MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN

INFÂQ MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: Sulaiman Ibrahim
I. Pendahuluan
Islam sejak dini telah memberikan perhatian besar terhadap infaq ini. Itu berarti secara tidak langsung al-Qur’an mengisyaratkan kepada kita bahwa infaq mempunyai peranan besar dalam pembinaan umat. Hal ini disebabkan dana yang berasal dari umat dihimpun, lalu dikelola secara baik sesuai dengan manejemen yang berdasarkan ketentuan al-Qur’an, kemudian dikembalikan kepada umat untuk memenuhi kebutuhan mereka, baik dalam bentuk barang, maupun jasa.
Infaq merupakan hal yang sangat penting dalam pembinaan umat, adalah suatu kenyataan yang empiris yang tak dapat dibantah sejak dulu sampai sekarang. Tapi yang perlu dilihat adalah berkenaan dengan kurang tumbuhnya sikap suka berinfaq di kalangan umat sendiri. Padahal masalah ini sangat penting demi mengatur dana umat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Lewat kitab suci al-Qur’an Allah swt. memerintahkan hamba-hambanya supaya senantiasa peduli terhadap sesamanya. Bentuk kepedulian ini dapat diwujudkan dengan melakukan infak dengan membelanjakan sebagian harta yang dilimpahkan-Nya kepada para fakir, miskin, orang-orang yang sangat memerlukannya dan untuk kebaikan dan kemanfaatan orang banyak.
Berdasarkan uraian terdahulu, pembicaraan akan dititik beratkan pada penelitian ayat-ayat Alquran tentang infak. Oleh karena itu, pokok masalah yang akan dijadikan landasan pembahasan dalam tulisan ini adalah bagaimana konsep infak dalam al-Qur’an.
(Ingin tulisan ini lengkap, hubungi Ar-Risalah)

Senin, 11 Januari 2010

HERMENEUTIKA TEKS; Sebuah Tawaran Metode Tafsir al-Qur’an

HERMENEUTIKA TEKS;

Sebuah Tawaran Metode Tafsir al-Qur’an

Oleh: Sulaiman Ibrahim

Abstrak

Hermeneutika al-Qur’an adalah suatu penafsiran rasional “bebas terkendali” dalam rangka memahami al-Qur’an dengan kontekstual. Walaupun Hermeneutika sebuah metode dari Barat, tetapi bukan berarti tidak bisa dipakai untuk manafsirkan sebuah teks al-Qur’an. justru hal ini membuahkan sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional

Kebutuhan Sebuah Penafsiran

Sepanjang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, tidak ada teks yang sakral. Sebab ilmu pengetahuan berkembang dengan cara mengkritik yang lama dan melahirkan yang baru. Sakralisasi teks mungkin diperlukan oleh orang awam supaya tidak bingung, sebagaimana mereka perlu pemimpin, apabila tidak ada pemimpin mungkin pemandu, yaitu teks-teks. Tapi ketika sudah dewasa, orang harus tahu bahwa sakralisasi bisa mempersempit Islam itu sendiri.[1]

Modernisme Islam atau pembaharuan dalam Islam selama ini dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan paham-pahaDm keagamaan Islam dengan dinamika dan perkembangan baru yang timbul atau ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Atau, yang dimaksud dengan modernisme Islam adalah upaya memperbarui penafsiran, penjabaran dan cara-cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar dan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis sesuai dan sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi masalah yang dihadapi.[2]

Dalam sejarah perkembangan modernisme Islam terdapat suatu gagasan utama yang selalu dicetuskan oleh oleh para tokoh pembaru, modernis, yaitu kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Muhammad Abduh, misalnya, dengan serius mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan berpegang teguh dengannya, dan perlunya penafsiran/interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, sesuai dan sejalan dengan tuntunan dan perkembangan zaman.[3]3 Sehubungan dengan gagasan utama modernisme Islam, semua pihak, terutama tokoh-tokoh modernis, sepakat dan antusias untuk mengoperasionalisasikan dan melaksanakannya. Mengingat perlunya penafsiran atau interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, khususnya al-Qur’an, maka mau atau tidak mau terlibatlah apa yang disebut tafsir.

Al-Qur’an, sebagaimana diyakini umat Islam, adalah kalam Tuhan yang menyimpan segala petunjuk dan ajaran-Nya, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia yang umumnya diungkap dalam bentuk dasar-dasarnya. Dan tafsir dipandang dari segi eksistensinya yang sangat melekat dengan al-Qur’an sungguh amat penting dan utama. Kepentingan dan keutamaan tafsir amat terasa apabila dihubungkan dengan keharusan umat Islam untuk memahami kandungan atau makna ajaran-ajaran al-Qur’an. Memahami segala kandungan al-Qur’an merupakan perintah Allah Swt. (QS. 38: 29) dan (QS. 4: 82).

Demikian penting upaya memahami dan merenungkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, demi mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga darinya. Untuk sampai pada tingkat pengamalan dan pelaksanaan segala petunjuk, ajaran dan aturan serta norma al-Qur’an tidaklah mudah, kecuali setelah memahami dengan sebaik-baiknya segala nasehat dan petunjuk al-Qur’an, serta menghayati prinsip-prinsip ajarannya, karena semua itu termuat dalam kemasan bahasa Arab yang beruslub tinggi. Hal ini menurut al-Zarqani, jelas diperlukan tafsir. Tanpa tafsir, tidak akan diperoleh apa-apa yang terkandung dalam khazanah al-Qur’an.[4]

Dalam rangka penafsiran baru al-Qur’an sesuai dengan konteks kekinian dan kemoderenan zaman, tafsir yang lebih diperlukan ialah tafsir yang bercorak rasional, yaitu tafsir yang disebut dengan istilah tafsir al-Qur’an bi al-ra’y (dengan menggunakan akal) atau tafsîr al-Ijtihâd.[5] Di samping itu diperlukannya perpaduan antara pemikiran-pemikiran yang memberi interpretasi pada wahyu (tafsir bi al-Ma’tsur)[6], dengan interpretasi rasional “liberal” dalam hal ini “hermeneutik”.[7]

Hermeneutik dalam Penafsiran Teks (al-Qur’an)

Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dalam kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia, model ini dikenal dengan Ilmu Tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutik tidak mutlak hanya milik kaum penafsir kitab suci saja, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin ilmu yang luas. Bentuk hermeneutik dalam suatu kajian mulai berkembang pada abad ke-17 dan ke-18.[8]

Kajian hermeneutik sebagai suatu bidang keilmuan mulai marak pada abad ke-20. Diskursus kajian hermeneutik semakin berkembang, ia tidak hanya mencakup pada bidang kajian kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan telah berkembang jauh pada ilmu-ilmu lain. Adapun ilmu-ilmu yang berkaitan erat dengan hermeneutik adalah sejarah, hukum. Filsafat, kesusasteraan dan lain sebagainya, yang tercakup dalam ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan.[9]

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari kata Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneueia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi.[10] Istilah hermeneutik merujuk pada mitos Hermes (Dewa Yunani) yang bertugas menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia.menurut Hossein Nasr sebagaimana yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, Hermes tak lain adalah Nabi Idris a.s. yang disebut dalam al-Qur’an.[11] Sementara menurut cerita yang beredar di kalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukan tenun. Jika propesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang Dewa Hermes, di sana terdapat korelasi positif. Kata kerja “menenung” atau “memintal” yang dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika yang dinisbahkan pada Hermes.[12] Jadi, kata hermeneutika adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks. Bagi Nabi Idris atau Dewa Hermes, ketika persoalan pertama yang dihadapi adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar bisa dipahami manusia yang berbicara dengan bahasa “bumi”.[13]

Problematika mendasar dalam mengkaji hermeneutik adalah problem penafsiran teks, baik teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang akan dicoba diselesaikan adalah berbagai persoalan seputar teks dalam kaitannya dengan tradisi, di satu sisi, dan dengan pengarang di sisi lain. Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana agar problem tersebut tidak mengacaukan relasi antara penafsir dengan teks. Relasi antara penafsir dan teks ini adalah masalah serius dan merupakan pijakan awal bagi para filosof hermeneutik.[14]

Harus dipahami, meskipun al-Qur’an dari sisi proses komunikasinya bersifat spesifik bagi bangsa Arab, namun tidak berarti al-Qur’an tertutup untuk bangsa lain, karena pergeseran dari penerima spesifik ke penerima yang lebih umum tidak berlangsung melalui pesan yang terkandung di dalamnya. Di sini peran teks tertulis untuk memungkinkan pesan tersebut dapat ditransper ke waktu dan ruang yang berbeda sangat penting.

Teks sebagai hasil komunikasi sebenarnya muncul dalam sekali waktu ketika proses komunikasi terjadi. Namun demikian ketika teks mula-mula muncul dalam bentuk oral diproduksi kembali ke dalam teks tertulis, keberadaan teks menjadi lebih mapan dan tahan lama. Apabila teks oral mudah mengalami perubahan karena lebih mengandalkan hapalan, dan proses penyebarannya lebih mengandalkan pada peralihan suara, maka teks tertulis memberikan jaminan keberlangsungan yang lebih mapan dari segi materinya, meskipun bentuk materinya sangat dimungkinkan mengalami perubahan juga apabila mengingat bahwa ketika al-Qur’an diturunkan tehnik penulisan yang berkembang dalam masyarakat Arab baru dimulai, dan belum mencapai tingkat kesempurnaan kecuali setelah memasuki dua abad kemudian.[15]

Persoalannya kemudian apakah setelah ditranspormasikan menjadi teks tertulis, teks tersebut memiliki kekuatan makna yang sama ketika ketika teks tersebut muncul dalam proses awalnya? Apakah teks tersebut ditulis dalam rangka mengawal perkembangan kehidupan agar senantiasa berada dalam teks tersebut, yang berarti kehidupan kapanpun harus tetap sama dengan kehidupan ketika teks tersebut muncul?.

Pada dasarnya hermeneutika berkaitan erat dengan bahasa, yang diungkapkan baik melalui pikiran, wacana, maupun tulisan. Dengan demikian, hermeneutika merupakan cara baru untuk "bergaul" dengan bahasa. Henri Bergson, sebagaimana yang dikutip oleh Sumaryono, menyatakan bahwa bila seseorang mampu memahami suatu bahasa, maka ia mampu memahami segala sesuatu. Kita biasanya berkomunikasi melalui bahasa, meskipun tidak jarang bahasa dapat menimbulkan salah paham dan salah tafsir.[16] Arti atau makna dapat kita temukan tergantung dari banyak faktor, di antaranya siapa yang berbicara, kondisi tertentu menyangkut waktu, tempat atau situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.

Dengan perkembangannya tradisi tulisan yang memperoleh dukungan kuat dari teknologi percetakan modern, bahasa tulis cenderung menggeser tradisi lisan dalam komunikasi keilmuan. Perkembangan ini telah melahirkan apa yang disebut paham strukturalisme di mana subyek menjadi hilang dan teks cenderung otonom. Jika wacana keagamaan pada mulanya sangat mengandalkan kekuatan bahasa lisan dalam sebuah dinamika sosial yang terbuka dan dinamis, kini bahasa tulis sangat semakin menguat kedudukannya.[17]

Ketika teks al-Qur’an dipahami secara terpisah dari konteks sosial- historisnya, banyak aspek dari wacana sosial-psikologisnya yang hilang. Disadari atau tidak, ketika sebuah wacana yang begitu kompleks dituliskan, penyempitan dan pengeringan makna dan nuansa tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, di sinilah relevansi dan urgensi hermeneutika sebagai metodologi penafsiran yang dihadirkan dalam mendekati al-Qur’an.

Perlu ditekankan, meragukan sebuah penafsiran tidak berarti menolak keyakinan akan pewahyuan al-Qur’an. Di sini muncul apa yang disebut sebagai problem hermeneutik kitab suci. Merasa tahu kandungan firman Tuhan sepenuhnya, berarti sombong dan bohong, karena level ini tidak mungkin dicapai oleh siapa pun. Sebaliknya, meragukan kitab suci jangan-jangan dianggap sebagai sebuah keangkuhan dan pengingkaran.[18]

Memang, dalam kajian hermeneutik tidak dibedakan antara teks agama dan sekuler. Al-Qur’an dianggap setara dengan teks-teks lainnya. Kunci utama terletak pada tafsirannya, ia bisa menjadi aturan hukum, karya sastra, teks filosofis, atau data sejarah. Semua teks mengacu pada satu aturan tafsiran yang sama, dan tidak ada tafsiran yang dianggap benar atau salah, yang ada hanyalah upaya yang bervariasi untuk mendekati teks dari kepentingan dan motivasi yang berbeda.

Pemahaman dalam Penafsiran Teks (Al-Qur’an)

Tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman, karena manusia memerlukan petunjuk Ilahi. Tanpa tafsir, seorang muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Tuhan yang terkandung dalam al-Qur’an.

Setidaknya ada tiga segi yang membuat dan menentukan tingginya kedudukan tafsir. Pertama, bahwa bidang yang menjadi objek kajian tafsir adalah Kalam Ilahi yang mulia yang merupakan sumber segala ilmu agama dan keutamaan. Didalamnya terhimpun berbagai aturan untuk kebaikan hidup manusia. Kedua, tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh dengan al-Qur’an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati, dunia dan akhirat. Ketiga, dilihat dari kebutuhan pun sangat jelas bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam persoalan, baik agama maupun keduniaan, memerlukan ilmu syari’at dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama.[19] Hal itu sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al-Qur’an, yaitu tafsir.

Banyak statemen al-Qur’an yang sulit dipahami kecuali telah dikonsultasikan pada teks yang lain melalui para ahlinya. Persoalan ini sudah mulai dirasakan di zaman Sahabat Nabi sendiri.dalam kitab-kitab klasik, dikemukakan contoh bagaimana Sahabat Nabi memerlukan datang ke orang Badui (pedalaman Arab) untuk melakukan riset bahasa, ketika dikemukakan kata-kata asing dalam al-Qur’an, yang lebih dikenal dalam masyarakat pedalaman.[20]

Redaksi ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah Swt. yang mereka dengar dan mereka baca itu.[21] Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).

Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat al-Qur’an tidak banyak kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga karena Nabi sendiri tidak menafsirkan semua ayat al-Qur’an, sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi pensyaratan-pensyaratan tertentu.[22]

Semua hasil penafsiran ulama terhadap al-Qur’an selalu memiliki kecenderungan tertutup, mapan, baku, tetapi tetap membuka kemungkinan untuk dikritik oleh penafsiran baru. Bila kita cermati sejarah pemikiran Islam, selalu muncul ketegangan kreatif antara pemahaman gerakan liberal, di satu sisi, dan gerakan pemahaman literal, di sisi yang lain. Imbas kedua pendekatan ini sangat kuat dalam pemahaman hukum, pemikiran politik, serta bidang sosial lain.[23]

Dari sudut pandang filsafat hermeneutika, sebuah pemahaman, apa pun objeknya, selalu mengasumsikan adanya kreatif dan imajinatif subjek penafsir agar tidak mudah diperdaya oleh teks yang sedang ia hadapi. Daya imajinasi dan kreasi itu bekerja dengan mengikuti kaidah dan tahapan penalaran logis. Tanpa mengabaikan konteks tradisi masa lalu. Memahami sebuah objek sosial yang menyangkut makna hidup tidak akan bisa tanpa adanya partisipasi dan dialog dengan tradisi.[24]

Pemikir Jerman, Scheleimacher[25] (1768-1834) adalah seorang yang mempersentasikan hermeneutik klasik. Dia dikenal sebagai tokoh yang berjasa dalam merubah hermeneutik dari bentuk penyajiannya yang teologis menjadi ilmu atau seni bagi proses pemahaman dengan berbagai kriteria dalam memahami teks. Dalam hal ini, Scheleimacher berusaha menghindari interpretasi final agar hermeneutik tidak menjadi kordinat ilmu tertentu, sehingga hermeneutik dapat menjadi ilmu mandiri yang mendasari proses pemaknaan sekaligus proses penafsiran.

Hermeneutik Scheleimacher berdasarkan pada asumsi bahwa teks merupakan sarana kebahasaan yang dapat mentransfer isi pikiran seorang pengarang kepada pembaca. Dari sisi kebahasaan Scheleimacher merujuk kepada bahasa secara utuh. Sedangkan dari sisi psikologis, Scheleimacher merujuk kepada subjektif seorang pengarang. Menurut dia, relasi antara dua pendekatan teks ini adalah relasi yang bersifat dialektis.[26]

Adapun Gadamer,[27] ia memusatkan perhatiannya pada problem pemahaman yang dianggapnya sebagai problem eksistensial. Ia membahas apa yang benar-benar terjadi, ia mementingkan pembahasan mengenai pengalaman sejati yang melampaui bingkai metode ilmiah yang sistimatis. Dan yang termanifestasikan dalam filsafat, sejarah dan seni.

Bagi Gadamer, seperti halnya juga bagi Schleiermacher, pertanyaan yang berhubungan dengan pentingnya waktu dalam pemahaman dan interpretasi dapat menimbulkan lingkaran hermeneutik. Kita tidak dapat lebih dahulu memahamibaru kemudian membuat interpretasi. Akal pikiran kita bukan sekedar merupakan cermin yang secara mekanis memantulkan segala cahaya yang diterimanya. Proses pemahaman yang sebenarnya merupakan interpretasi itu sendiri. Akal pikiran kita membuat perbedaan, mengutamakan, menunda, bekerja, mendayagunakan apa saja yang dikumpulkan dari panca indra kita dan dari proses intelektualnya sendiri. Bila akal kita memahami, maka di dalamnya tercakup pula interpretasi. Sebaliknya, jika akal pikiran kita melakukan interpretasi, maka terangkum juga pemahamannya.[28]

Hermeneutik yang dikenal dalam tradisi Islam adalah ilmu tafsir dan takwil. Tafsir artinya mengurai untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks, sedang takwil adalah menulusuri kepada orisinalitas atau ide awal dari gagasan yang terbungkus dalam teks.[29] Di sini tafsir dan takwil saling terkait, meskipun karakteristik takwil lebih liberal dan imajinatif.

Tafsir; Bebas Terkendali

Al-Qur’an sebagai firman Allah Swt. pada dasarnya adalah suatu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi umat manusia; dan ia bukan sebagai dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa dan haji. Dari awal hingga akhir, al-Qur’an selalu memberikan penekanan pada semua aspek-aspek moral bagi umat manusia.oleh karena itu, kepentingan sentral al-Qur’an adalah manusia dan perbaikannya.

Perlu diketahui bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik dan sebagainya. Maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Karena hal ini merupakan perintah al-Qur’an sendiri. Sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini adalah konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.[30]

Untuk melakukan interpretasi objektif dan pemahaman yang kuat. Menurut Emilio Betti sebagaimana yang dikutip oleh Abd A’la menekankan empat aspek penting yang bersifat teoritis yang harus ada dalam penafsiran. (1) Aspek filologi, yaitu rekontruksi terhadap koherensi terhadap suatu ungkapan dari sisi gramatikal dan logika. Aspek ini bernilai efektif dalam usaha memahami secara permanem simbol-simbol yang sudah pasti; (2) Aspek kritik, kegiatan ini dihadapkan pada hal-hal yang membutuhkan sikap untuk dipertanyakan, misalnya mengenai statemen yang tidak logis atau adanya gap dalam sekumpulan argumen yang muncul; (3) Aspek psikologis. Aspek ini diberlakukan ketika penafsir meletakkan dirinya dalam diri pengarang, yaitu ketika memahami dan menciptakan kembali personalitas dan posisi intelektual si pengarang; dan terakhir, (4) Aspek morfologi-teknis. Pendekatan ini ditujukan kepada pemahaman isi-arti dari kata yang bersifat mental-objektif dalam hubungannya dengan logika khusus dan prinsip-prinsip yang digunakannya. Pada sisi ini, objek dipandang apa adanya tanpa dikaitkan dengan sifat, atau faktor-faktor eksternal.[31] Jadi menurutnya suatu interpretasi hendaknya bersifat gerakan penafsiran yang melibatkan aspek kebahasaan, latar belakang historis dan pengenalan terhadap si pengarang secara bersama-sama. Melalui pendekatan ini, hasil interpretasi yang relatif objektif sangat dimungkinkan untuk dicapai.

Ibn ‘Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah Swt. menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan orang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Swt.[32]

Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu menyangkut syarat-syarat penafsir dan menyangkut materi ayat-ayat. Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat al-Qur’an yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah Swt. Dari segi syarat penafsir, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan bahwa seorang penafsir harus (a) mengetahui bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b) mengetahui tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi dan ushûl fiqh; (c) mengetahui tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; (d) mengetahui tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.[33]

Apa yang dikemukakan di atas, dianggap sebagai adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran al-Qur’an. Hal ini dianggap perlu untuk menjaga suatu penafsiran agar tidak menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan menjadi malapetaka dalam kehidupan.

Di antara kita ada yang beranggapan bahwa kitab-kitab tafsir al-Qur’an merupakan kitab-kitab suci. Tetapi mereka lupa bahwa sebenarnya para mufassir ini juga manusia biasa yang tidak kebal terhadap dosa, dan tafsir ini berada dalam bidang kajian yang luas, yang karena kebodohan atau adanya kepentingan pribadi penafsirnya, dapat menimbulkan pendapat-pendapat yang justeru merusak citra al-Qur’an itu sendiri.[34] Jika kita menyimak tradisi yang berkembang di dunia Islam dalam menafsirkan al-Qur’an, terdapat beberapa metode yang kecenderungannya berbeda-beda, namun semuanya yakin bahwa al-Qur’an adalah firman Allah Swt. Pertama, ada yang menitikberatkan pada pendekatan gramatikal-tekstual. Pendekatan ini didukung oleh argumentasi bahwa al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci telah sempurna pada dirinya sendiri. Al-Qur’an, bahkan diyakini telah memiliki kemukjizatan bahasa, sehingga dengan penguasaan ilmu bahasa Arab, seseorang bisa menangkap kandungan dasarnya. Pendekatan ini cukup menonjol di kalangan ahli fiqhi dan kalam (teologi Islam). Kedua, karena Allah Swt. sebagai pengarangnya di luar jangkauan dunia impiris manusia, maka problem pengarang al-Qur’an bergeser pada pembawanya, yaitu Nabi Muhammad yang hidup dalam sebuah konteks historis. Pendekatan ini melahirkan metode penafsiran berdasarkan tradisi kenabian (tafsir bi al-ma’tsur). Yang terakhir ini pandangan bahwa Muhammad memiliki otoritas dalam menjelaskan al-Qur’an, sehingga Muhammad secara historis menggantikan kedudukan Allah sebagai pengarangnya. Terdapat lagi pendekatan lain, yaitu mistikal-filosofis yang hendak menggali subtansi makna yang terwadahi dalam proposisi bahasa. Oleh pendukung mazhab ini proposisi bahasa dilihat sebagai pintu masuk untuk meraih pesan yang berada di luar pengertian lahir yang bersifat proposional.[35]

Demikianlah al-Qur’an menemui para pembacanya dalam ziarah panjang dan respons berbagai ragam metode, sikap, serta kapasitas intelektual. Dengan demikian kesan dan pemahaman orang terhadap al-Qur’an juga menjadi sangat beragam.

Epilog

Persoalan penafsiran atau hermeneutik al-Qur’an adalah sui generis; ia berkaitan dengan teks dan konteks sosio-historis seorang penafsir pada satu sisi, dan pada sisi lain menjadi semakin kompleks ketika hermeneutik, sebagai sebuah metode, digunakan untuk melakukan pembaharuan terhadap realitas pemikiran umat Islam saat ini. Dua kenyataan ini semakin faktual ketika hermeneutik dengan semangat “Quranic turn” atau kembali kepada al-Qur’an, pada kenyataannya, secara historis melanjutkan semangat pembaharuan yang dilakukan para pembaharu Islam abad kesembilan belas dan kedua puluh. Namun kekuatan pembaharun sebuah pemikiran keagamaan –seperti lazimnya yang terjadi di semua agama- pada kenyataannya akan selalu tampil dan terkondisikan oleh sosio-historis-politis yang melahirkan dua poros pemikiran. Kalangan yang menerima, umumnya bersikap apresiatif dan kritis dalam menyikapi tawaran sebagai poros dialektika intelektual yang kreatif. Sedangkan kalangan yang menolak –kolompok yang sering dianggap sebagai ortodok- biasanya bersikap reaksioner dan apatis yang terkadang menggunakan cara-cara yang cenderung teologis dogmatik sehingga melahirkan tuduhan “pengkafiran” dan “pemurtadan” terhadap pemikiran tersebut.

Upaya dinamisasi tafsir tentu masih mempunyai harapan. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan analisa kritis dengan pisau bedah yang mempunyai daya sayat melacak esensi tafsir dan takwil, sejarah perkembangannya serta pemetaan metode dan berbagai corak tafsir. Analisa kritis ini lah yang akan menghantarkan para penggiat tafsir pada kondisi dan posisi obyektif tafsir. Strategi ini kemudian diikuti dengan melakukan kajian elaboratif dan komprehensif terhadap hermeneutika, pemantauan setiap perkembangan terbaru dan pemanfaatan terhadapnya.

Dalam hal ini, sikap kritis yang diajarkan dalam hermeneutika terhadap semua teks jelas menjadi sisi menariknya. Ungkapan klasik Nietszhe yang sering dijadikan pegangan adalah ''Jangan lihat apa yang dikatakan, tetapi lihat siapa yang mengatakan dan mengapa itu dikatakan serta apa kepentingan di balik semua itu.'' Dalam hermeneutika, seorang hermeneut dituntut untuk tidak sekadar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks.



[1]Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003) h. 118

[2]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002) cet I, h. 5

[3]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002) cet I, h. 5

[4]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Musthafa al- Babi al-Halabi, tth.) jilid II, h. 6

[5]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, h. 11

[6] Menurut al-Dzahabi al-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan: (a) ayat-ayat al-Qur’an, (b) riwayat yang berasal dari Rasulullah Saw. (c) riwayat dari sahabat, dan (d) riwayat dari para tabi’in. Lihat Al-Dzahabi, I, h. 152.

[7]Hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kita sekarang. Ini melibatkan aturan metodologis yang diterapkan dalam penafsiran maupun asumsi-asumsi epistimologis tentang pemahaman. Hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan membawa persoalan dan harapan sendiri, dan adalah masuk akal untuk menuntut penafsir menyisihkan subjektivitas dirinya dan menafsirkan suatu teks tanpa pemahaman dan pertanyaan awal yang dimunculkannya. Lihat Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. Terjemahan dari: Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Penerjemah: Watung A. Budiman. (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), h. 83.

[8]E.Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Masalah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 26. Lihat juga M.Alfatih S. “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis” (IAIN Yogyakarta, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. I, no. 2, 2001) h.36.

[9]M.Alfatih S. “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis”, h. 39.

[10] E.Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, h. 23. ditambahkan bahwa untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi inilah menimbulkan “lingkaran hermeneutik”.

[11]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2004) cet. II, h. 137.

[12]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2004) cet. II, h. 137.

[13]Lihat Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 138. Menurut Van A. Harvay, kaitan antara kata “hermeneutika” dengan “Hermes” merefleksikan sebuah struktur triadik dari profesi penafsiran, yaitu: sebuah tanda, pesan atau teks dari beberapa sumber yang memerlukan seorang mediator atau penafsir (Hermes) untuk menyampaikannya kepada audiens.

[14]Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan,; Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutik al-Qur’an, (Bandung: Risearch for Quranic Studies RQiS, 2003) cet. I, h. 33 Dalam bidang filsafat, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah “interpretasi”, ‘pembahasan’, seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia. Jelaslah bahwa kembalinya minat terhadap hermeneutik terletak di dalam filsafat. Meskipun demikian, sebagaimana terdapat dalam kesusasteraan, dalam filsafat pun tidak ada aturan baku untuk interpretasinya. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik sebagai Metode Filsafat, h. 29

[15]Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik sebagai Metode Filsafat, h. 13.

[16]Karena hermeneutika berhubungan erat dengan bahasa, maka ranah penerapannya pun menjadi cukup luas, terutuama ilmu humanistik, sejarah, hukum agama (termasuk kajian tafsir al-Qur’an), filsafat, seni, kesusastraan dan linguistik sumaryono menilai bahwa disiplin ilmu pertama kali yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir. Sebab semua karya mendapatkan inspirasi ilahi, misalnya al-Qur’an, memerlukan interpretasi atau hermeneutika sehingga dapat dimengerti. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik sebagai Metode Filsafat, h. 26-30

[17]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 27

[18]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 151-152

[19]M.Quraish Shihab “Kata Pengantar I” dalam buku Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, h. xiii

[20]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 148

[21]M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Manusia, (Bandung: Mizan, 1996) cet. XII, h. 75

[22]M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Manusia, (Bandung: Mizan, 1996) cet. XII, h. 76

[23]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 157

[24]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 164

[25]Nama lengkapnya adalah Friedrich Ernst Daniel Scheleimacher, dilahirkan di Breslau pada tanggal 21 November 1768 dari keluarga yang sangat taat dari agama Protestan. Dan meninggal dunia pada hari Rabu 12 Pebruari 1834 karena radang paru-paru. Dia pernah menjadi dosen di Universitas Halle dan menjadi Rektor di Universitas Berlin tahun 1815. dalam bidang hermeneutik, Scheleimacher mempergunakan bidang teologi dan filsafat. Menurutnya, hermeneutik adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Scheleimacher juga menerapkan metode philologi untuk membahas tulisan-tulisan Biblis (tentang kitab suci Bible). Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, h. 35 dan 37.

[26]Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, h. 35. lihat juga Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan. h. 42

[27]Nama lengkapnya Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. ia belajar filsafat pada universitas dikota asalnya. Ia memperoleh gelar Doktor filsafat pada tahun 1922 dan menjadi profesor tahun 1937. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, h. 67

[28]E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, h.82

[29]Tafsir dan takwil adalah dua kata yang lazim digunakan untuk menggambarkan proses atau cara memahami ayat-ayat al-Qur’an. Para pakar 'ulûm al-Qur’ân memberi penjelasan etimologis yang berbeda. Adapun ta’wil menurut bahasa adalah memalingkan arti lafal kepada salah satu dari beberapa arti yang bermacam-macam. Sedangkan secara terminologis takwil berarti menafsirkan kalimat dan menerangkan maknanya, baik sesuai dengan zhahir kalimat maupun tidak. Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 17-18.

[30]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 77

[31]Abd A’la, Dari Modernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003) h. 85

[32]M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h.77. Al-Zarqani mengatakan, seorang mufasir selain harus menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an dan cabang-cabangnya, ia juga harus memiliki ilmu-ilmu alat yang lain seperti ilmu bahasa dengan segala cabangnya, ilmu tauhid, ilmu ushul fiqhi, dan bahkan ilmu al-mawhibah (limpahan). al-Zarqani, al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, II, h. 51. Tanpa pemahaman secara mendalam tentang bahasa al-Qur’an, maka akan besar kemungkinan bagi seorang mufasir akan melakukan penyimpangan (distorsi) dan kesalahan interpretasi (misinterpretation). Oleh sebab itu, ilmu bahasa dapat membantu seseorang dalam memahami bahasa Arab, juga memperluas wawasan tentang morfologi dan etimologi adalah yang paling penting seorang mufasir. Bagaimana seseorang dapat memahami makna ayat, kosa kata dan idiom, jika seorang mufasir tidak menerima kata secara literal (harfiyah), maka ia akan terjerumus kepada kesalahan dan dapat membawa kepada penafsiran yang kontroversial.

[33]M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 79

[34]Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Ittijâhat al-Munharifah fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Dawâfi’uhâ wa Daf ‘uhâ, (Kairo: Dar al-‘Itisham, 1978), h. 5

[35]Komaruddin Hidayat, MenafsirkanKehendak Tuhan, h. 163